Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Koalisi Basa-Basi Parpol Islam

Koalisi Basa-Basi Parpol Islam
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Peneliti di Monash Institute Semarang.
Hasil Pemilu Legislatif 2014 memang di luar prediksi. Paling tidak hasil itu di luar perkiraan banyak lembaga survei. Banyak lembaga survei yang sebelumnya memperkirakan bahwa PDI Perjuangan akan mendapatkan angka fantastis pad pileg kali ini, ternyata perolehan suaranya—berdasarkan hasil hitung cepat (quck caont)beberapa lembaga survei—tidak mencapai 20 persen. Tidak hanya itu, partai-partai Islam atau partai berbasis massa Islam; PPP, PKS, PKB, PAN, dan PBB yang diprediksi akan tenggelam, justru mendapatkan suara signifikan. Gabungan dari suara partai-partai itu mencapai angka 32 persen. Suara ini meningkatkan dibandingkan dengan hasil Pileg 2009 yang hanya mendapatkan 29 persen. Tentu ini menjadi peluang tersendiri bagi partai berbasis agama itu.
Hasil yang demikian itu, mengharuskan semua harus berkoalisi untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan kata lain, tidak ada satupun partai yang bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri. Tidak adanya suara partai yang dominan ini menjadikan peta koalisi di Pilpres 2014 semakin seru dan menarik. Para petinggi partai, mau tidak mau, harus menjalin komunikasi yang intens dengan sesama elite atau juga bisa tokoh-tokoh yang mempunyai pengaruh untuk menggalang dukungan di pilpres nanti.
Hanya Fatamorgana
Bagi partai Islam—meskipun definisi 'partai Islam' itu sendiri sudah semakin kabur—momen ini saharusnya menjadi titik balik untuk menyatukan kekuatan untuk membawa aspirasi umat Islam. Ketua MPP PAN Amien Rais, misalnya, menggagas koalisi Poros Tengah Jilid II, yang isinya adalah kumpulan partai Islam. Belakangan namanya poros tersebut dinamakan sebagai 'Koalisi Indonesia Raya'. Namun, belum sampai gagasan itu ditindaklanjuti, banyak pihak yang menentang ide tersebut. Bahkan, dari para elite “partai Islam” banyak yang ragu dengan poros koalisi ini. Pasalnya, jika asumsinya disamakan dengan Pilpres 1999, yang saat itu mengusung KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, maka saat ini banyak yang memandang sulit mencari tokoh yang bisa diterima semua golongan laiknya Gus Dur.
Oleh sebab itu, 'Koalisi Indonesia Raya' dinilai hanya sebatas fatamorgana dan sangat sulit diwujudkan. Bahkan, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai Islam yang mengikiti Pemilu 2014 justru telah mengumumkan secara resmi bahwa partai yang ia pimpin akan mendukung Capres Partai Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2014, meskipun keputusan itu dibayang-bayangi isu pemecatan atas dirinya dari jabatan ketua umum partai. Merapatnya PPP secara tidak langsung menggugurkan ide poros partai islam. Inilah basa-basi koalisi yang sampai saat ini belum jelas.
Menurut Saiful Mujani Research & Consulting memodelkan tiga poros koalisi yang mungkin tercipta menjelang pemilihan presiden. Koalisi terdiri atas satu partai poros dan dua-tiga partai mitra. Pertama, koalisi Gotong Royong Perjuangan Indonesia terdiri atas PDI Perjuangan (18,9%), NasDem (6,7%), PKB (9.8%). Koalisi ini memiliki jumlah suara terbesar, yaitu mencapai 36,4 persen. Kedua, koalisi Gerakan Amanat Indonesia Raya yang diketuai oleh Gerindra (12%) dan meliputi PPP (6.3%), PAN (7,7%), dan PKS 6.9%). Jumlah suara koalisi ini adalah 34,3 persen. Sedangkan poros ketiga, Koalisi Karya Demokrat yang terdiri dari tiga partai, yaitu Golkar (15%), Demokrat, (10%), dan Hanura (5,2%), yang semua itu berjumlah 30,2 persen. Sedangkan PBB dan PKPI dianggap gugur karena tidak (Tempo, 19/04/2014).
Basa-Basi
Melihat kondisi semacam itu, elite partai Islam kini sedang berhitung. Berapa keuntungan dan kerugian yang akan didapat. Yang paling belum jelas adalah nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai waga nahdliyin itu justru menawarkan ketiga capresnya; Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Rhoma Irama kepada PDIP untuk dijadikan cawapres mendampingi Jokowi, meski belum secara resmi diputuskan. Alasannya sederhana, bahwa antara PDIP dan PKB sama-sama memiliki basis massa kuat di desa. Kontituen PDIP yang mayoritas adalah kaum marhain dan PKB adalah kaum nahdliyin menjadi salah satu alasan mereka untuk membangun desa.
Sementara Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional juga belum jelas asikapnya. Komunikasi yang dibangun pun belum menunjukkan hasil yang final. Hampir semua partai-partai Islam itu justru “anti koalisi partai Islam”. Alasan yang mereka jelaskan memang tidak sejalan dengan apa yang mereka kampanyekan di pileg lalu. Tentu umat Islam masih ingat saat mereka dijanjikan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan oleh partai-partai yang mengaku berideologi Islam atau berbasis massa Islam.
Secara prosedural, kemungkinan-kemungkinan itu saha-sah saja dilakukan oleh partai Islam. Namun, secara ideologi—jika ideologi masih dianggap penting oleh mereka—tentu strategi itu harus dipikirkan lebih matang lagi. Kini, parpol Islam dalam ketidakpastian dan lupa dengan konstituen yang telah memilih mendukungnya. Mereka justru berburu keuasaan di lahan yang sudah jelas-jelas potensial menang. Jokowi, Prabowo, dan (mungkin juga) ARB menjadi pusat pembicaraan mereka saat ini.
Bukan dampak posisitif-negatif konstituennya yang dipikirkan, tetapi lebih mengedepankan kepentingan elite agar masuk di struktur kabinet pemerintahan nanti. Jika tidak bisa cawapres, maka jabatan-jabatan menteri pun jadi rebutan. Bahkan, menjadi opisisi (mungkin) sama sekali tidak dipikirkan oleh mereka. Padahal, keberanian bersikap sebagai oposisi bisa mendorong citra partai Islam menjadi naik dan agar tidak selalu dinilai pragmatis. Dengan begitu, partai Islam akan tetap kritis menyuarakan aspirasi masyarakat, terutama umat Islam. Jika hanya terus-terusan menjadi pengikut, maka peran partai Islam pun tidak signifikan, bahkan bisa jadi tak punya peran. Wallahu a’lam bi al-shawaab.


About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply