Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Merdeka dari Budak

Merdeka dari Budak
Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Directur Eksekutif Monash Institute Semarang.
Secara legal formal, penjajahan di Indonesia memang telah tiada. Perjuangan mati-matian yang dilakukan para pahlawan telah berhasil mengusir penjajah dari bumi nusantara. Setelah dijajah Belanda selama 350 tahun dan Jepang kurang lebih tiga setengah tahun, Indonesia berhasil menjadi negara yang merdeka. Namun, ketika melihat kondisi Indonesia saat ini, apakah kemerdekaan sudah benar-banar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tampaknya, kemerdekaan hanya milik sekelompok orang saja. Pasalnya, masih banyak rakyat negeri ini yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Bagi mereka, kemerdekaan hanya bersifat semu. Dibalik semua kesemuan kemerdekaan itu, sebenarnya apa yang menyebabkan Indonesia sampai sekarang tidak segera menjadi negara maju? Padahal penjajah sudah tidak ada.
Menarik sekali jika kita berpikir lebih jauh tentang mengapa bangsa ini jauh kata-kata maju. Maju, mundur, atau stagnasi sebuah negara sangat ditentukan oleh mentalitas warga yang ada di dalamnya, terutama sekali mental pemimpinnya. Mental baik warga negara akan mengantarkan sebuah negara menjadi baik. Begitu pula sebaliknya. Tak hanya itu, mentalitas sangat mempengaruhi bagaimana sebuah bangsa akan melangkah ke depannya. Sebab, tidak ada negara maju yang ditopang oleh warga negara bermental inferior atau terbelakang.
Lihat saja negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China, pasti warga negaranya menganggap bangsanya lebih unggul jika dibandingkan dengan bangsa lain. Spirit itulah yang kemudian  membuat mereka “unggul” dalam pergaulan Internasional. Paradigma bernegara dalam konteks ini memang sangat penting. Sebab, paradigma akan menentukan  langkah ke depan sebuah bangsa. Tanpa paradigma maju, tidak akan sebuah negara akan maju.
Mental inferior ini sama seperti mentalitas yang di miliki oleh budak-budak pada zaman dahulu. Disebut demikian karena secara umum budak adalah manusia yang tidak memiliki kontrol atas diri mereka sendiri. Para budak telah kehilangan hak sehingga membuka kesempatan pihak-pihak lain untuk menguasai dirinya. Dalam jangka yang panjang, para budak akan menganggap eksploitasi itu sebagai bagian dari “takdir” hidup. Sebab, para budak merasa seolah berada dalam zona yang mau tidak mau mereka harus menikmatinya.
Dalam sejarah Islam, budak menjadi ladang beramal, yang barang siapa memedekakan mereka, maka akan mendapat pahala yang besar. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an, “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan? Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan....” (QS Al-Balad: 8–13). Secara konseptual perbudakan memang telah sirna dari muka bumi ini. Namun, secara sebtansi sebenarnya perbudakan hanya berubah wujud saja, yaitu perbudakan yang awalnya berbentuk sistem yang membudaya, sekarang ini berubah bentuk menjadi mentalitas.
Terjajah Mental Budak
Masyarakat Indonesia saat ini telah terjajah mentalitas budak. Jika kita berpikir logis, tentu tidak mungkin negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah serta jumlah penduduk yang banyak ini, tidak mejadi negara yang maju. Hal ini sangat ironis sekali jika dibandingkan dengan negara kecil dan hanya mempunyai penduduk yang sedikit; Singapura. Negara bekas jajahan Inggris itu, menjadi salah satu negara di Asia yang mendapatkan predikat sebagai negara maju. Menurut Global Finance (media bisnis terkemuka Amerika Serikat), Singapura menempati peringkat empat negara terkaya di dunia dengan pendapatan perkapita US$ 52.840. Bahkan, Singapura menjadi negara dengan kualitas hidup nomor satu di Asia.
Sungguh ironis ketika kita membandingkan Indonesia dengan negara tetangga di masa sekarang. Jika dulu ada alasan masih dijajah bangsa lain, sehingga tidak bisa bebas mengatur negeri ini untuk menjadi negara maju. Maka, sekarang tidak alasan lagi untuk tidak maju, tapi realitas yang terjadi justru berbanding terbalik. Jika kita mengingat tahun 1990 an, maka kita melihat banyak sekali negara tetangga yang mengirim pelajar dan mahasiswa ke tanah air. Namun, yang terjadi sekarang ini adalah sebaliknya. Pelajar atau Mahasiswa Indonesia lebih bangga jika berhasil bersekolah atau kuliah di negeri tetangga. Bahkan, jika disuruh memilih antara sekolah di Indonesia atau di negara tetangga, kebanyakan pasti memilih sekolah di negara tetangga dengan alasan lebih berkualitas. Inilah mentalitas kebanyakan masyarakat Indonesia yang menunjukkan mentalitas inferior.
Sifat minder, inferior, tidak bangga dengan yang dimiliki, atau menyerah dengan keadaan merupakan sifat-sifat yang diwariskan oleh para pendahulu yang telah lama dijajah oleh para penjajah. Selain pejuang yang mempertaruhkan nyawa, ternyata ada orang-orang yang menyerah dengan keadaan dijajah. Orang-orang itulah yang kemudian mewariskan cara berpikir, bersikap, dan bertindak kepada anak-anak mereka. Pewarisan sistem perbudakan baru ini kemudian berubah menjadi sebuah tradisi, sehingga sampai sekarang masih berjalan dan bila dibiarkan akan sangat bahaya.
Usir Penjajah itu!
Penyakit mentalitas inilah yang sesunggunya telah meracuni bangsa Indonesia. Itulah sebab, sampai sekarang Indonesia tidak beranjak dari ketertinggalan, meskipun secara formal telah merdeka. Oleh sebab itu, sangat perlu bagi Indonesia untuk mengusir “penjajah-penjajah” yang menghambat kemajuan bangsa ini. Pertama kali yang harus dilakukan adalah mengingat kembali tujuan bangsa yang telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
The founding fathers sesungguhnya telah membuat simbol-simbol yang harapannya bisa menjadi semangat rakyat Indonesia. Simbol-simbol itu di antaranya adalah Istana Merdeka dan masjid Istiqlal di dekatnya. Nama Istilqal berasal dari bahasa Arab yang artinya merdeka atau mandiri. Dari kedua simbol itu, seharusnya rakyat Indonesia mulai menyadari untuk berpikir maju, bukan berpikir ala budak.
Bulan Agustus ini merupakan waktu yang tepat untuk memulai semua itu. Sebagai penerus pahlawan masa lalu, sudah saatnya kita berjuang mengusir penjajah yang sesungguhnya. Sebab, Indonesia tidak akan maju jika “penjajah” bermental itu budak belum lenyap dari bangsa ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 Sumber: Republika, 16 Agustus 2014

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply