Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Reaktualisasi Ajaran Agama

Reaktualisasi Ajaran Agama
Oleh: Muhammad Abu Nadlir
Setiap orang yang beragama sudah dipastikan percaya bahwa ajaran agamanya itu baik dan benar. Namun ajaran yang benar itu tidak pasti terealisasi dalam perilaku para pengikut-pengikutnya. Realisasi pengamalan agama ini sering disebut agama aktual (meminjam istilah Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual).
Apakah perilaku seseorang yang beragama dalam sehari-hari itu merupakan cerminan ajaran agamanya? Bisa ya bisa tidak. Ambil contoh kecil tentang etos kerja. Agama telah menganjurkan umatnya untuk rajin bekerja, giat berusaha. Dan agama sangat membenci bagi mereka yang bermalas-malasan. Ajaran agama selalu menekankan umatnya agar selalu disiplin, jujur, dan menepati amanat. Itu dalam konsep atau agama konsep.
  Coba kita hubingi pak Topo misalnya (nama fiktif), apa yang membuat Pak Topo rajin bekerja, apakah ada perntah dari agama? “Saya enggak tahu, apakah ada perintah dari agama atau tidak, saya hanya bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga”. Begitu jawaban darinya.
  Kebetulan memang Pak Topo memang pegawai yang rajin. Tapi dia sering mengeluh, kendatipun penghasilannya lebih dari cukup, tapi selalu merasa kurang. Akhirnya para tetangga menjuluki Pak Topo itu kurang bersyukur.
Ada kisah lain, sebut saja namanya Pak Yanto. Dia juga pegawai, rajin lagi, hampir setiap pagi dia pasti datang paling awal dan pulang tepat pada waktunya. Dibanding dengan Pak Topo, penghasilannya memang tidak seberapa. Namun penampilan Pak Yanto terlihat santai, banyak senyum. Ini dibuktikan dengan pujian dari bebrapa tetangganya, bahwa keluarganya tak pernah cek-cok sekalipun.
Dari segi motivasi mungkin ada sedikit perbedaan. Pak Yanto orangnya saleh, tahu agama walaupun sedikit tapi diamalkan. Yang dalam prinsipnya, hidup itu amanat, kita harus berjalan sesuai dengan yang menggariskan amanat tersebut. Soal rizki kita harus berusaha sekuat tenaga, tetapi sebaik-baik rizki adalah yang diperoleh dengan halal, dipergunakan untuk yang halal, tidak boros dan untuk beramal.
Prakteknya memang berbeda, tipologi orang seperti pak Topo, biasanya kosong dengan falsafah hidup. Ini sangat berbahaya ketika harus berhadapan dengan kenyataan lain, misalnya musibah, pensiun atau kejadian lainnya. Berbeda dengan tipologi orang seperti pak Yanto, energik tapi penuh tawakkal, sehingga penampilannya menjadi tenang.
Orang yang melandasi aktivitasnya dengan agama, biasanya tanpa harus diawasi, harus ditakut-takuti, maka ia akan selalu bekerja keras. Karena ia yakin bahwa diatasnya ada “Pengawas” yang Maha Tahu, dia percaya bahwa pekerjaannya merupakan amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ia tidak berani seenaknya sendiri. Berbeda jika landasan agama itu tidak ada. Bisa jadi aktivitasnya hanya ingin dipuji, ingin ambisi jabatan atau yang lain.

Transcendental dan Mondial
Membahas masalah hubungan agama dengan etos kerja, yang erat kaintannya dengan kehidupan ekonomi, akan mengingatkan kita pada thesis max Weber yang terkenal dalam bukunya “Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism” (Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme), yang intinya menguraikan hubungan positif antara keyakinan orang Protestan (terutama sekte puritanisme) dengan timbulnya kapitalisme. Bahwa karena keselamatan dari Tuhan hanya diberikan kepada ‘orang yang terpilih’, maka untuk menjadi orang yang terpilih itu orang harus bekerja dan berjuang dengan keras untuk menghilangkan keraguan menjadi orang yang “ditakdirkan terpilih atau tidak”, karena keraguan berarti kurangnya rahmat dan bahwa kerja keras merupakan “panggilan Tuhan”(Taufiq Abdullah, 1982, p.5,8,9).
Semangat yang tinggi disertai dengan upaya rasional yang terprogram dan tersistematisasi akhirnya melahirkan faham kapitalisme. Meskipun thesisnya telah menimbulkan pro dan kontra (bantahan terutama datang dari kalangan agamawan), terutama thesisnya yang disapaikan pada tahun 1905, yang sampai sekarang masih mempunyai pengaruh yang besar di kalangan ilmuan.
Dalam konteks agama islam, sering kita dengan konstatasi dari beberapa pemimpin nasional maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya, bahwa “kesemarakan umat Islam dalam beribadah belum diimbangi dengan kesemarakan muamalah” atau dalam istilah lain “kesenarakan ritual belum seimbang dengan kesemarakan sosial”.
Tanpa bermaksud untuk menihilkan berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh umat Islam lewat program-program organisasi sosial, namun yang jelas bahwa kepedulian terhadap kehidupan sosial-ekonomi umat belum merupakan gerakan nasional yang melibatkan seluruh umat Islam dimanapun mereka berposisi dan berfungsi, secara sistematis dan terprogram. Apalagi ketika melihat angka kemiskinan yang menuntut adanya perhatian serius dari semua lapisan masyarakat maupun para pemimpin Indonesia.
Gambaran diatas setidaknya memberikan kesan bagi kita tentang adanya gap antara kehidupan duniawi dan ukhrowi; bahwa pelaksanaan agama baru sampai pada taraf “formal normatif” dan belum atau bahkan kurang “aktual aplikatif”. 

Dari sinilah sangat diperlukan akan adanya perencanaan gerakan “reaktualisasi ajaran agama” dalam konteks pembangunan nasional, disamping mempunyai nilai transcendental juga berfungsi mondial. Pada saat yang sama tulisan ini juga mengajak kita untuk mengintrospeksi diri kita sendiri baik sebagai umat beragama maupun masyarakat negara, sudah sampai manakah hubungan taraf keberagamaan  kita dengan semangat perjuangan hidup kita? Sudah positifkah kesadaran beragama dan etos kerja kita?
Tulisan ini diterbitkan Majalah Idea.

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply