Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Wujudkan Aklamasi yang Meritokrasi

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Tulisan Bambang Arianto (BA) berjudul “Politik Aklamasi Matikan Kader Muda” di Banjarmasin Post Jumat (9/1) sangat menarik. Bambang menyayangkan membanjirnya praktik aklamasi yang terjadi belakangan ini—dengan menyebutkan banyak contoh partai politik (parpol) pelaku aklamasi tersebut. Intinya, Arianto menyatakan bahwa aklamasi yang terjadi di partai politik (parpol) akhir-akhir ini merupakan wujud gerontokrasi (lembaga yang dikuasai orang-orang tua) yang ditandai oleh matinya suksesi kepemimpinan yang melibatkan kaum muda.
Lebih jauh lagi, dia menganggap, fenomena politik aklamasi menandai minimnya proses institusionalisasi (pelembagaan) demokrasi internal kepartaian. BA mensinyalir ada dua penyebab munculnya politik aklamasi di antaranya: Pertama, masih terlembaganya budaya patronase dan kuatnya cengkeraman figur-figur tua pada pucuk kepemimpinan partai. Kedua, terjadinya krisis regenerasi dan kaderisasi yang dialami sebagian besar partai politik, terutama kader-kader muda. Hal ini erat kaitannya dengan pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk membangun budaya meritokrasi di lingkungan internal kepartaian.
Intinya, aklamasi dianggapnya sebagai sesuatu proses yang akan mematikan kader muda, sebagaimana redaksi judul tulisan Arianto. Sehingga, ini dinilai menghilangkan sistem meritokrasi dalam partai. Saya tertarik untuk menindaklanjuti kerangka berpikir Arianto untuk didiskusikan ke ruang publik. Sehingga, harapannya tulisan ini mampu menjernihkan pemahaman bahwa aklamasi tidak merupakan salah satu mekanisme yang yang tidak diakui di alam demokrasi. Sebab, orang ketika membaca tulisan BA, tentu akan bersikap apriori terhadap aklamasi, ketika pembaca tidak memikirkan secara mendalam pokok persoalan politik aklamasi itu sendiri.
Padahal, ketika melihat penyebab politik aklamasi yang terjadi akhir-akhir ini, sebagaimana yang dituliskan oleh Arianto adalah lemahnya proses kaderisasi dan regenarasi. Adanya regenerasi tentu harus ada perkaderan yang mapan terlebih dahulu, agar generasi yang dihasilkan memang mampu membawa marwah parpol. Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kaderisasi di dalam partai itu sendiri.
Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan bahwa aklamasi merupakan pernyataan setuju secara lisan dari seluruh peserta rapat dan sebagainya terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara. Menilik sejarah negara-bangsa Indonesia, ternyata pengangkatan presiden dan wakil presiden pertama, Soekarno dan Hatta adalah melalui mekanisme aklamasi oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)].
Mungkin kemudian orang akan berkata bahwa alam demokrasi saat ini berbeda dengan alam demokrasi Soekarno-Hatta ketika diangkat menjadi presiden-wakil presiden secara aklamasi. Penulis justru ingin mengatakan bahwa demokrasi yang seharusnya dibangun dan dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang digagas oleh para pendiri bangsa ini, yang tidak lain adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila, bukan mengikuti demokrasi liberal yang diterapkan di Barat.
Demokrasi Itu Dinamis
Perbedaan demokrasi yang diterapkan di Indonesia dengan di Barat ini harus disadari terlebih dahulu. Sebab, ini sangat menentukan ke mana arah negara-bangsa ini dibangun. Alasannya tidak lain adalah kita memiliki nilai yang berbeda. Nilai-nilai ketimuran yang berbeda dengan kebarat-baratan (tentu ada baik buruknya). Namun, minimal yang tersirat di dalam Pancasila lah yang mesti kita pegangi.
Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kategori yang dinamis. Ia senantiasa bergerak dan berubah, kadang-kadang negatif (mundur), kadang-kadang positif atau maju (Budhy Munawar: 2012). Cak Nur menjelaskan bahwa pada 1947 Unesco pernah mensponsori sebuah penelitian tentang demokrasi, yang salah satu kesimpulannya adalah ide demokrasi dianggap sebagai kabur. Dalam konteks Indonesia, agar demokrasi kita tidak kabur, maka kemudian diberi kualifikasi Pancasila.
Hal ini dimaksudkan, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila—yang merupakan nilai “asli” yang digali dari budaya Indonesia—akan menjernihkan kekaburan ide tentang demokrasi tersebut. Terkait mekanisme yang digunakan dalam memutuskan suatu hal, sebenarnya, bisa dicerap dari sila keempat Pancasila; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Mestinya musyawarah mufakatlah yang menjadi nilai tertinggi dalam setiap memutuskan segala sesuatu. Nah, baru ketika tidak menemukan titik temu, mekanisme voting diperlukan.
Logika penting untuk dibangun. Jangan sampai terbalik-balik. Bahwa saat ini aklamasi dianggap tidak tepat, maka jangan kemudian mekanisme ini yang disalahkan, tetapi memperbaiki mengapa hal itu bisa terjadi, dengan logika tersebut tentunya. Dalam konteks ini, aklamasi merupakan bentuk tertinggi dari mekanisme estafet kepemimpinan di Indonesia. Bahwa aklamasi dianggap sebagai hal yang menghalangi kader muda dalam berkontestasi dan menghilangkan sistem meritokrasi, itu persoalan lain. Sebab, hal itu terjadi syaratnya tidak terpenuhi, namun ternyata dipaksakan.
Setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar aklamasi bisa dilakukan dengan hasil yang tanpa menghilangkan meritokrasi: (1) hanya ada satu calon yang maju, (2) atau hanya ada satu calon yang memenuhi syarat, atau (3) ada banyak calon, tetapi dalam proses lobi (baca: musyawarah mufakat), mereka menyepakti dan menunjuk satu orang untuk memimpin. Untuk membangun konsesus yang demikian itu, memang tidaklah gampang. Calon-calon yang muncul adalah orang-orang yang seharunya memiliki prestasi, sehingga di antara mereka mampu menciptakan sebuah konsensus untuk kemajuan organsiasi (baca: partai politik) mereka.
Lebih jauh, dalam sejarah perpolitikan Islam, mekanisme pemilihan khalifah Abu Bakar As-Shidiq yang menggantikan Nabi Muhammad Saw. ketika wafat ternyata juga dengan aklamasi. Padahal, pada saat banyak sekali calon khalifah yang memiliki jiwa kepemimpinan kuat, diantaranya: Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bi Walid, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki prestasi.
Namun, mereka mampu membuat konsensus, sehingga mereka sepakat untuk mendukung Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah. Nilai itulah yang kemudian diambil oleh para founding fathers kita dalam menyusun dasar negara dan konstitusi Indonesia. Karena aklamasi merupakan salah satu mekanisme di alam demokrasi, sedangkan demokrasi itu adalah sesuatu yang bersifat dinamis, maka aklamasi juga akan memiliki dua sisi yang senantiasi berubah; negatif dan positif.
Oleh sebab itu, partai politik bertanggungjawab penuh untuk melakukan regenasi, dimulai dari rekrutmen politik sampai proses kaderisasi, haruslah benar-benar berkualitas. Sehingga, mereka mampu menciptakan konsensus dalam rangka memajukan parpol. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

*Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
Dimuat di Banjarmasin Post, 14 Januari 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply