Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » PUASA, ANTARA SHAUM DAN SHIYAM

Kata “puasa” dengan segala bentuknya, dalam bahasa Arab, disebut 13 kali dalam al-Qur’an. Paling sering digunakan istilah shiyâm dan hanya satu kali dengan kata shaum. Meski demikian, kata shaum mengandung makna lebih dibanding shiyâm. Shiyâm hanya berarti berpuasa dengan mencegah makan, minum dan “bergaul” dengan dengan istri mulai fajar sampai maghrib, sedang shaum mencegah lebih dari apa yang tidak boleh dalam shiyâm, yaitu harus mencegah bicara, mencegah mendengar, mencegah melihat, dan bahkan mencegah pikiran. Dalam pandangan al-Ghazali, shiyâm inilah bentuk puasa yang sesungguhnya yang akan mengantarkan manusia kepada derajat taqwa, sedang shiyâm adalah perilaku puasa syareat, puasa masyarakat awam, sedang shaum adalah perilaku puasa hakekat, puasa orang-orang pilihan. Al- Qur’an sendiri menggunakan kata shaum – dan hanya satu kali – dalam kaitanya dengan perilaku puasa Maryam, manusia suci bunda Isa AS, (QS. Maryam, 26).
Puasa BicaraPerilaku pertama dari shaum, seperti dijelaskan al-Qur’an soal Maryam, adalah puasa bicara. Puasa bicara yang dimaksud ini bukan sekedar menahan lidah untuk mencaci, menggunjing, menghujat atau bicara kotor lainnya, karena semua itu memang sudah terlarang meski tidak dalam keadan puasa sekalipun. Dalam puasa bicara berarti kita hanya berbicara yang benar- benar perlu dan bermanfaat. Pada sebagain besar waktu, kita diam. Selanjutnya, puasa bicara berarti tidak akan berbicara tentang sesuatu yang tidak kita pahami. Tidak akan berbicara sekedar untuk menunjukkan bahwa kita adalah orang pinter.
Tidak akan menjadi pengamat dan pakar dalam semua bidang. Saat ini, kita sering mendengar komentar dan uraian di media massa yang justru menyebabkan masyarakat menjadi bingung, gelisah dan takut. Artinya, komentar-komentar kita telah menyebabkan penderitaan banyak orang. Padahal, Rasul menyatakan “orang Islam adalah seseorang yang orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya”. Dalam konteks ini, apakah kita masih layak dianggap sebagai orang Islam? Ada banyak manfaat, sesungguhnya, yang dapat diperoleh dari puasa bicara ini, antara lain:Pertama, munculnya kemampuan mendengar secara baik. Dalam keluarga, konflik antara suami dan istri atau orang tua dan anak sering terjadi karena semua fihak hanya ingin bicara tetapi tidak mau mendengarkan. Dalam kehidupan bernegara, bencana terjadi karena elit politik hanya belajar bicara tetapi tidak belajar mendengarkan.
Jika kita serentak melakukan puasa bicara, khususnya pada bulan Ramadlan ini, kita akan menikmati bulan suci dan juga kehidupan ini dengan penuh kedamaian serta kesejukan.Kedua, adanya kemampuan untuk mendengar bisikan hati nurani secara lebih jernih. Hati nurani (qalb) yang merupakan taman Tuhan dalam diri manusia adalah tempat atau sarana dimana Tuhan menyampaikan petunjuk-Nya. Selama ini kita tidak sanggup mendengar bisikan Tuhan dalam hati karena kita terlalu banyak ngomong. Kita menjadi tuli karena suara bising dari omongan kita sendiri. Lebih dari itu, dalam kisah Maryam, karena Maryam puasa bicara, Tuhan menjadikan bayi dalam buaiannya berbicara dengan amat jelas. Bayi itulah yang menjawab hujatan banyak orang ketika Maryam kembali dari mihrab dengan mengendong bayi.
Puasa MendengarPuasa mendengar bukan hanya menghidarkan diri dari mendengarkan gossip, fitnah atau kata-kata kotor, karena semua itu jelas tidak boleh kita lakukan walau saat tidak berpuasa. Puasa mendengar berarti berusaha secara sadar dan sungguh-sungguh menyeleksi apa yang kita dengar. Kita hanya mendengarkan apa yang dianggap manfaat. Jika disana banyak hal yang bermanfaat, kita hanya akan mendengarkan yang paling manfaat saja. System syaraf, otak dan mental manusia bukan tidak terbatas. Pada titik tertentu ia juga dapat mengalami kejenuhan, kelelahan dan bahkan kolaps. Sebagaimana komputer, jika terlalu banyak informasi yang harus diolah, otak bisa mengalami overload. Kita akan mengalami kelelahan fisik dan bahkan gangguan mental, sehingga tidak dapat memberi makna pada berbagai peristiwa. Kenyataan menunjukkan, banyaknya informasi dan tekanan untuk memberikan makna pada kehidupan telah membuat kita menjadi mudah tersinggung, pemarah dan angresif. Karena itu, Ashley Montague, misalnya, menyebutkan bahwa ketergantungan pada media massa sebagai salah satu sebab dehumanisasi manusia modern.
Penonton televisi kelas berat, heavy viewers, cenderung melihat dunia lebih tidak aman dan karenanya mereka menjadi lebih ketakutan dibanding penonton televisi ringan atau masyarakat lain. Pada saat sering terjadi demonstrasi dan isu bom seperti beberapa waktu lalu, misalnya, orang-orang kota yang sering membaca koran, melihat televisi dan mendengarkan radio, memandang Indonesia jauh lebih kacau dan tidak aman daripada penglihatan masyarakat kampung. Karena itu, mereka juga menjadi lebih resah, lebih takut dan bisa-bisa lebih agresif. Dari sini dapat kita pahami mengapa sebagian orang modern ada yang berusaha mencari kedamaian dan ketentraman hati dengan meninggalkan televisi, radio dan media massa lainnya.
Puasa MelihatPerilaku ketiga dari puasa sufi adalah puasa melihat. Seperti dua perilaku sebelumnya, puasa melihat bukan sekedar tidak melihat sesuatu yang dilarang, karena hal itu juga tidak boleh kita lakukan pada saat tidak berpuasa. Puasa melihat berarti kita tidak akan melihat sesuatu yang tidak perlu, atau bahkan mengurangi melihat sesuatu yang sebenarnya boleh dilihat. Dalam Al-Qur’an, Tuhan memerintahkan orang-orang mukmin untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kehormatannya (QS. al-Nur, 30). Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya, tidak ada salahnya kita keluar sejenak untuk melihat-lihat sesuatu atau berjalan melihat pusat-pusat perbelanjaan. Namun, makin banyak sesuatu yang kita lihat makin besar pula keinginan- keinginan yang muncul.
Keinginan yang tidak terpuaskan dan tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Menurut para psikolog, kekecewaan adalah perbandingan antara keinginan dan kenyataan (want dan get). Jika keinginan lebih besar dari perolehan, kita akan mengalami kekecewaan. Makin tinggi keinginan makin besar pula kemungkinan kita frustasi, dan sumber semua keinginan tersebut kebanyakan berasal dari apa yang kita lihat. Karena itu, jika dalam bulan Ramadlan ini kita belajar menundukkan pandangan, Insya Allah, kita akan merasakan kelezatan spiritual. Rasul sendiri menyatakan, “siapa yang memelihara pandangannya, ia akan merasakan lezatnya iman”.
Puasa PikiranPuasa pikiran bukan sekedar menahan pikiran-pikiran kotor dan jahat tetapi merupakan usaha secara sadar dan sungguh- sungguh untuk mengendalikan pikiran dan angan-angan yang bersifat materialistik. Kita tidak dapat mencapai hal itu kecuali terlebih dahulu melakukan puasa bicara, puasa mendengar, puasa melihat dan puasa atas indera-indera eksternal. Sulit bagi kita mengendalikan fakultas batin dan pikiran jika indera-indera eksternal tidak ditutup dan dibiarkan memberikan masukan- masukan yang materialistik.
Syeh Abd al-Qadir Jailani menyatakan, seseorang tidak akan bertemu Tuhan Yang Maha Agung jika dalam pikirannya masih ada keinginan-keinginan ukhrawi, dan ia tidak akan mencapai kebahagiaan ukhrawi jika dalam pikirannya masih ada nafsu-nafsu rendah duniawi. Artinya, kita harus meninggalkan angan-angan dan pikiran rendah duniawi demi mencapai kemuliaan akherat, dan lebih dari itu, kita bahkan harus membuang angan-angan kemuliaan akherat itu sendiri demi mencapai Tuhan, Dzat yang mempunyai kemuliaan dunia akherat.
Itulah perbedaan antara shaum dan shiyam. Shaum bukan sekedar menahan makan dan minum melainkan usaha secara sadar untuk menjaga segala aktivitas indera lahir batin, karena puasa pada dasarnya dilakukan atas dasar iman demi mencapai taqwa (QS. al-Baqarah, 183). Bagaimanakah perilaku puasa kita di bulan Ramadlan ini, lebih baik, sama, atau justru menurun dibanding tahun lalu? Masih sekedar shiyam atau mulai meningkat menjadi shaum? Wallahu a'lam bi al-shawaab.

Sumber: https://www.facebook.com/KabahKiblatkuHajiMabrurImpianku/posts/323093737813037

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply