Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Antara Ngaji dan Sekolah

Tri Rahayu*
Kata-kata majemuk seperti jasmani rohani, lahir batin, luar dalam, dunia akhirat, dan lain-lain sudah menjadi budaya lisan kita sehari-hari. Sepintas kita pahami, bahwa yang jasmani, lahir, luar, dan dunia itu nyata-nyata dapat dilihat (visible) dan dapat ditangkap/ diraba (tangible) dengan panca indera. Sementara sesuatu yang rohani, batin, dalam, dan akhirat kita pahami sekilas sebagai sesuatu yang  invisible dan intangible. Sesungguhnya, kita pun paham bahwa kedua kata dalam kata-kata majemuk itu terdapat pada setiap sosok manusia yang utuh. Keutuhannya terletak pada keseimbangan, keserasian, dan keharmonisan yang proporsional antara rohani dan jasmani, atau antara dunia dan akhirat.
Yang jasmani, semisal perut kenyang, mata terbelalak, dan raga ber “body” atletik itu proporsional dengan rohani, semisal batin yang tenang dan hati yang penuh dengan kasih dan cinta. Proporsionalitas ini juga tampak pada muka masam atau cemberut ketika bagian dalam kita terluka atau tersinggung atau bahkan cemburu buta.
Begitu pulalah pada proporsionalitas dunia-akhirat. Hasanah di akhirat akan mampu kita raih dengan nikmat sebanding dengan ulah kita mengakrabi hasanah di dunia. Makin intim dan intensif bersama dengan hasanah dunia, makin pasti akan bersua dengan hasanah akhirat. Setiap diri manusia, tentunya kita para anak cucu Adam As, jelas menginginkan hasanah tersebut sekaligus. Yakni hasanah fiddunya dan hasanah filaakhirat.
Bagaimana cara mengantongi kedua hasanah tersebut? Merefresh kembali kenangan kita semasa duduk di bangku sekolah dulu, Bapak atau Ibu guru agama kerap berkata, “Andaikan kita menghendaki dunia, maka harus dengan ilmu. Andaikan kita menghendaki akhirat, maka harus dengan ilmu juga. Dan apabila kita merindukan dunia wal akhirat, maka harus dengan ilmu pula.” (HR Turmudzi)
Ternyata wejangan guru agama kita –yang berasal dari hadits Nabi Saw– tersebut seakan memberi suntikan petunjuk kepada seluruh orang tua untuk mengirimkan anaknya, baik perempuan atau laki-laki, ke pesantren untuk menguasai ilmu akhirat. Namun, ada juga yang dikirim ke sekolah untuk memiliki ilmu dunia. Bahkan ada pula yang menuntut keduanya, yakni pagi hari belajar menghitung matematika di sekolah, dan pada sore sampai malam harinya belajar ngaji alifbata di pesantren. Matematika itu ilmu dunia, sementara alifbata sebagai ilmu akhirat.
Begitulah hadits Nabi Saw oleh orang tua dahulu hingga kini dipersepsikan dan difungsikan secara terpisah. Pesantren ilmu akhirat berjalan ke kanan. Sekolah ilmu dunia berjalan ke kiri. Kita temukan juga ada perguruan yang memasok keduanya sehingga ada Fakultas Dirasah Islamiyyah (FDI) dan Fakultas nonDirasah Islamiyyah tetapi tetap terpisah. Hasil lulusan Fakultas Dirasah Islamiyyah ialah ahli ngaji minus matematika. Sebaliknya, Fakultas nonDirasah Islamiyyah meluluskan pakar matematika minus alifbata. Yang satu mendapatkan akhirat tanpa dunia, sementara yang lain memperoleh dunia tanpa akhirat.
Semestinya, antara dunia dan akhirat itu menyatu. Seharusnya kita menguasai ilmu alifbata-matematika, atau ilmu matematika-alifbata. Dalam artian, kita menggapai ilmu yang utuh, yakni ilmu Allah yang bersumber dari firman/ wahyu-Nya: qauliyah dan yang bersumber dari perbuatan/ ciptaannya: kauniyah.
Ilmu qauliyah dan ilmu kauniyah satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan, tidak mungkin bertentangan, apalagi kontroversial. Begitu pula, ilmu alifbata  mampu menjelaskan matematika. Dan matematika mampu menjelaskan alifbata. Karena keduanya berasal dari satu, yakni Sang Khalik-Allah Swt. Satunya perkataan, yang lainnya perbuatan. Sebagaimana satunya rohani dan jasmani, atau lahir dan batin dalam tubuh setiap insan di dunia.
Siapapun yang berhasil menggapai ilmu Allah yang utuh, membuang jauh nilai dikotomi, Insya Allah dapat berjaya di dunia dan di akhirat. Mengkantongi hasanah fiddunya wal aakhirat sekaligus., sebelum dan sesudah mati (baca: kembali ke hadapan Sang Illahi). Di dunia, kita kantongi 4 hasanah dan di akhirat kita kantongi 40 hasanah.
Di manakah Keutuhan Ilmu Allah Swt?
Lalu, di mana ilmu Allah Swt yang utuh diajarkan? Ke mana seharusnya, kita mengirimkan anak-anak untuk sekolah-ngaji atau ngaji-sekolah? Untuk belajar ilmu dunia dan akhirat? Di sekolah atau universitas hanya didapatkan ilmu matematika, jikalaupun ada alifbata hanya tempelan saja, tidak rekat tidak menyatu. Dan apabila kita kirim anak-anak ke pesantren, hanya memperoleh alifbata, meskipun ada matematika tetapi hanya embel-embel saja, juga tidak menyatu. Walhasil, menjadi makin penasaranlah kita semua untuk membangun kurikulum pendidikan ilmu Allah Swt. Sebab, dengan kurikulum pendidikan yang sekarang tengah berjalan, kita khawatir hasilnya berupa generasi yang bermuka dua bahkan bermuka sepuluh alias dasa muka.
Generasi yang akan memisahkan shalatnya dari fungsi sosial kemasyarakatan shalat itu sendiri. Shalat sih shalat, tetapi tidak tanha ‘anil fahsyaa-i wal munkar. Atau generasi yang memisahkan agama dari negara. Atau menceraikan negara dari agama dan memojokkan masjid dari sejumlah gedung dan istana.
Kita pun semakin was-was terhantui, kalau-kalau anak kita menjadi generasi muslim yang ber-Islam secara individual dan bertingkah sebagai birokrat atau teknokrat yang bertuhankan teknologi. Tak hanya itu, ketakutan kita bertambah karena berprasangka, kalau-kalau anak kita menjadi kyai yang tidak mampu memfungsionalisasikan nilai Islam menjadi kenyataan hidup di muka bumi, ternyata malah lalu berbalik mengkritik dan menyerang Islam sebagai ajaran yang tidak realistis dan tidak aktual.
Orang tua terutama kaum ibu pun tidak lelap tidurnya karena khawatir anaknya yang ngaji atau sekolah akan menjadi generasi yang lugu bahkan sandy, yakni bagaikan pasir yang pasang surut pasrah mengikuti ombak laut di pantai. Yang terserah pada angin dan gelombang kehidupan. Kita semua juga tidak menginginkan hasil pendidikan ngaji/ sekolah berupa generasi muslim yang memiliki sindroma kejayaan Islam masa lampau, sehingga lalu frustasi dan kerjanya hanya memaki, mengumpat atau mencari-cari kelemahan dan kenegatifan dari masa kini saja tanpa berbuat atau memberi sumbangsih berupa uluran tangan untuk perbaikan-perbaikan. Yakni generasi yang hanya nahi munkar tanpa amar ma’ruf. Lalu apa gunanya pendidikan yang sekarang ini?
Lalu apa arti dan esensi dari keberadaan guru, dosen, atau ustadz yang sekolah dan ngaji kalau hanya akan menghasilkan generasi macam tersebut? Apakah manfaatnya kurikulum pendidikan sekarang ini kalau hanya akan memproduksi generasi kalang kabut? Produk manusia kalang kabut yang asing pada dirinya, atau asing terhadap bumi dan lingkungnya? Aatau generasi pengangguran? Mencari kerjaan meski siang dan malam, juga susah?
Pada saat ini, konon muncul formula 10:2:1, yang artinya, setiap 10 orang pencari kerjaan hanya tersedia 2 lapangan kerja tetapi hanya 1 orang pencari kerja yang memenuhi syarat bagi lapangan kerja tersebut. Ini formula nasional di negeri kita tercinta nusantara.
Jangan telantarkan sekolah akhirat anak-anak kita. Izinkanlah ilmu dunia dan ilmu akhirat berjalan berdampingan. Hapus dikotomi pendidikan. Ilmu dunia dan akhirat harus proporsional. Karena inilah tempat kita dan anak-anak kita mendapatkan keutuhan ilmu Allah Swt. Jangan sampai karena kehilangan salah satunya, –terutama ilmu akahirat– akan menciptakan generasi tak bermoral yang pandai mengeruk uang rakyat ketika masuk ke gedung otoritas.  Atau malah menciptakan muda mudi yang lebih memilih ngamen di jalanan, di setopan lampu merah, atau dari rumah ke rumah. Itulah hasil dari salah sekolah dan salah ngaji. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.
*Penerima Beasiswa Unggulan Program Tahfidz di Monash Institue Semarang, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Dimuat di Koran Wawasan, 25 Maret 2015


About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply