Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Pacu Perempuan untuk (ber) Pilkada

Pacu Perempuan untuk (ber) Pilkada
Oleh: Nurul Husna*
Berdasarkan jadual Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, momentum pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak gelombang pertama akan laksanakan pada bulan Desember 2015, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 serta pada semester pertama 2016. Kemudian, pilkada serentak gelombang kedua akan dilaksanakan pada Februari 2017, untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2017.
Adapun pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018,untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019. Sementara pilkada serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada 2020,untuk kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015 (Republika Online). Sehubungan dengan hajat tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, terdapat 272 daerah yang akan menggelar pilkada, terdiri atas 204 daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya tahun 2015 dan 68 daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatan hingga Juni 2016.
Maka, telah tiba saatnya kaum perempuan untuk ‘unjuk gigi’ dalam menghadapi pilkada mendatang. Sebab, dalam momentum pesta demokrasi baik pemilihan presiden (Pilpres) maupun pilkada, tentu tidak akan pernah lepas dari keterlibatan perempuan di dalamnya. Namun, meskipun ada perubahan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004, di mana calon kepala dan wakil  kepala  daerah  dipilih  secara  langsung, pun ternyata  belum  mampu  menjadi  media yang mendorong representasi perempuan ke dalam ranah politik.
Terbukti, berdasarkan catatan kajian Bulanan Lembaga Survey Indonesia (Edisi 1 Mei 2007), dari 296 wilayah di Indonesia hanya 61 wilayah (20,6 persen) yang diikuti oleh kandidat kaum hawa yang berjumlah 69 orang. Selebihnya (79,4 persen) dari wilayah tersebut, pilkada  berlangsung  hanya  diikuti  oleh  kandidat  kaum adam  tanpa  kehadiran  kandidat kaum hawa. Angka persentase tersebut menunjukkan minimnya andil kaum hawa secara langsung dalam pilkada. Sampai pada Desember 2006, hanya satu orang perempuan yang mencalonkan diri dan berhasil menang menjadi gubernur, yaitu Ratu Atut Chosiyah pada pilkada provinsi Banten tahun 2006. Sungguh ironis.
Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Kongres Perempuan Indonesia pertama kali dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928, yaitu dua bulan setelah deklarasi Sumpah Pemuda. Dan tujuan utama pelaksanaan itu ialah untuk mengukuhkan peran serta eksistensi kaum hawa dalam kancah politik. Jika keterlibatan perem­puan di ranah politik jauh-jauh hari sudah dicanangkan pada tanggal tersebut atau dalam kurun waktu 73 tahun (sebuah usia yang sudah bisa dikatakan sangat tua), idealnya telah ada perubahan yang signifikan terhadap peran perempuan dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia. Terlebih, genderang emansipasi selalu dita­buh setiap tanggal 21 April dan juga DPR telah lama menggodok RUU ten­tang Kesetaraan Gender.
Terlepas dari itu, pada hakikatnya, jika disadari bahwa sesungguhnya urusan politik merupakan kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat, tak terkecuali kaum hawa. Jika kita mencermati firman Allah Q.S. Ali Imran: 104, secara substansial ayat tersebut telah menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintah kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk memperhatikan urusan umatnya. Urusan umat meniscayakan pada urusan politik. Artinya, setiap orang ‘wajib’ terlibat dalam berpolitik, terlebih bagi kaum yang memang dari hati nurani ingin mensejahterakan umat.
Tanpa  ber­maksud mendeskreditkan posisi perempuan, realitanya hingga saat ini peran serta kiprah perempuan di ranah perpolitikan bisa dikatakan masih sangat minim. Memang tidak mudah bagi kaum perempuan untuk mengambil peran secara proporsional di ranah politik karena harus berjuang ‘melawan’ kaum laki-laki untuk memperoleh posisi strategis, meskipun faktanya jumlah pemilih aktif kaum hawa lebih banyak dibandingkan dengan pemilih aktif kaum adam. Berdasarkan survei Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Desember  2007), tingkat preferensi pemilih perempuan terhadap kandidat bupati dan wakil bupati itu menyebar. Artinya, tidak semua pemilih perempuan memberikan hak suaranya untuk kandidat perempuan.
Meskipun undang-undang telah mensyaratkan keterlibatan perempuan dalam proses demokrasi, namun faktanya kebijakan itu masih belum cukup mampu mendongkrak partisipasi perempuan untuk “unjuk gigi” bersaing dengan kaum laki-laki di tiap pilpres maupun pilkada. Menurut hasil studi Azza Karam (1999), rendahnya keterwakilan perempuan dalam bidang politik di sejumlah negara dikarenakan masih banyaknya hambatan yang berkaitan dengan aspek sosial, ideologis, dan psikologis, maupun budaya patriarkhi (persepsi bahwa kaum laki-laki harus selalu berada di depan dalam berbagai hal, termasuk menjadi pemimpin daerah) yang kuat.
Adapun di tanah air, budaya patriarkhi sudah mengakar dalam masa yang sangat lama. Bahkan, banyak kaum perempuan menganggap ketidaksetaraan perempuan itu sebagai takdir dan fungsi perempuan dalam masyarakat. Nah, paradigma semacam inilah yang menjadi penghambat kemajuan tenaga produktif kaum hawa. Perempuan seakan masih diidentikkan sebatas untuk mengurus rumah tangga, memandikan anak-anak, memasak, mencuci dan melayani suami. Padahal faktanya, kini banyak kaum perempuan yang bisa berbuat lebih dari laki-laki, hingga menjadi kepala daerah yang ‘handal’ seperti Rismaharini, Walikota Surabaya. Oleh sebab itu, stigma negatif terhadap perempuan yang menganggap tidak mampu berbuat lebih, menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk membalikkannya.
Perlu diketahui, keterlibatan perempuan dalam panggung politik memiliki arti dan peran yang sangat urgen bagi kemajuan bangsa ini, bukan hanya untuk kepentingan pencapaian target kuota 30% saja. Lebih dari pada itu, kehadiran sosok perempuan menjadi gubernur atau walikota diharapkan mampu menciptakan berbagai kebijakan konstruktif untuk ‘mengangkat derajat’ gender dan juga anak di lingkunga nasional maupun internasional.
Sebab, perempuan dan anak telah menjadi satu paket yang kerap kali menjadi objek permasalahan diskriminatif, seperti kesetaraan gender, penganiayaan tenaga kerja, pemerkosaan, dan masih banyak lagi. Oleh sebab itu, momentum pilkada 2015 ini harus dimanfaatkan secara optimal dengan memacu lebih banyak lagi kaum perempuan agar lebih berperan aktif dalam dunia politik. Sehingga, dengan adanya keterlibatan perempuan dalam struktur politik, maka akan dapat memperkuat aspirasi kaum perempuan dalam penyelesaian sejumlah masalah terkait perempuan dan anak.
Kaum perempuan harus mampu menjadikan tauladan sejumlah perempuan yang ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik, bahkan menjadi pemimpin. Sebut saja ‘Aisyah (istri Nabi saw.), Ratu Bilqis, Mantan Presiden Megawati, Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan) serta Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) dan masih banyak lagi. Selain itu, pemerintah harus mendukung dan ‘memberikan ruang’ bagi perempuan agar lebih berani terjun di dunia politik, misalnya dengan mengadakan pendidikan politik di tiap daerah, yang isinya bertujuan menyadarkan serta memacu perempuan yang berpotensi, berkualitas, dan berkapabilitas agar berani terlibat dalam kontes pilkada.

Kemudian, untuk perempuan yang tidak/ belum memiliki kualitas yang mumpuni untuk mencalonkan diri, maka mereka harus bisa “memprovokasi” masyarakat sekitarnya untuk tidak ber-golput (golongan putih) dan memilih kepala daerah yang cerdas, berkualitas serta berintregitas. Wallahu a’lam bimurodihi.
*Demisioner Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan HMI komtar UIN Walisongo Semarang
Dimuat di Koran Wawasan, 11 Maret 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply