Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Menyoal Hukum Rimba Begal

Oleh : M. Arif Rohman Hakim*
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang diliputi rasa ketakutan paska terjadinya aksi pembegalan di beberapa tempat. Tak hanya terjadi di Jabodetabek, aksi begal ini juga sudah meluas kesebagian wilayah di Indonesia, termasuk wilayah pedalaman sekaligus. Alhasil, usaha perampasan kendaraan orang lain ini seolah menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat untuk mencari nafkah.
Dimulai dari merbaknya kasus pembegalan yang diberitakan oleh media massa, hingga terjadinya aksi pembakaran pelaku pembegalan seoalah mulai membuka kembali aib bangsa. Tak berhenti sampai disitu, trending topik diberbagai media sosial, mulai facebook, twiter, whatsup, dan lain-lain. Alhasil, setidaknya tindakan pembegalan ini akan menambah daftar panjang permasalahan bangsa.
Kegiatan perampasan sepeda motor orang lain ini terbilang rapi. Mengingat modus yang digunakan pelaku sangat bervariasi. Mulai dari menyamar sebagai petugas polisi, menabrak korban, pura-pura jatuh dari motor, bahkan tak jarang juga ada yang langsung menodong korbannya dengan senjata tajam, termasuk pula dengan senapan angin. Hebatnya lagi, kegiatan pembegalan ini seakan juga sudah tersistematis. Alhasil dalam hitungan detik mereka sudah mampu membawa kabur kendaraan korbannya.
Mengingat sudah begitu menjamurnya aksi pembegalan, maka tidah mengherankan jika masyarakat takut utntuk keluar malam. Padahal jam-jam seginilah banyak masyarakat yang biasanya menggantungkan hidupnya dari berjualan di malam hari. Akan tetapi mengingat bahaya yang mengintai pedagang dan ketidakberanian masyarakat keluar malam memaksa para pedagang untuk duduk di rumah.
Tak ada asap jika tidak ada percikan api. Mungkin ungkapan ini tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Maraknya aksi pembegalan ini seolah sudah direncanakan oleh para pelaku. Mereka memanfaatkan minimnya infrastruktur jalan yang tidak memadai, mulai dari kelayakan jalan, penerangan, dan juga minimnya pengawasan dari pihak kepolisian. Jika sudah demikian, siapakah yang patut untuk disalahkan?
Sebagai bagian dari negara, masyarakat sudah sepantasnya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Dalam konteks ini bukan layak dari segi ekonomi, melainkan kehidupan. Artinya masyarakat harus mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah untuk menopang  hidupnya. Maka dari itu, mengingat maraknya aksi pembegalan yang merujuk pada indikasi minimnya peran kepolisian, maka tidak salah jika masyarakat jika mempersoalkan kinerja dari polisi.
Sangat disayangkan memang, kegiatan begal ini tidak hanya  meresahkan masyarakat. Namun juga menjadi cambuk bagi kepolisian Indonesia. aksi begal ini seakan menjadi tamparan bagi Kepolisian yang akan menyebabkan melemahnya animo kepercayaan masyarakat terhadap peran daripada pihak Kepolisian. Dalam hal ini, masyarakat akan beranggapan bahwa selama ini polisi hanya mampu berdiam diri di Pos. Bahkan sempat beredar kabar jika aksi pembegalan ini juga menyeret oknum polisi.
Puncaknya, animo ketidakpercayaan masyarakat ini terlampiaskan dalam bentuk main hakim sendiri. Keresahan dan kejengkelan masyarakat terhadap pelaku begal ini akan terlampiaskan tatkala salah seorang pelaku ada ada yang tertangkap warga. Pengeroyolan pelaku dan penghilangan nyawa pelaku seakan sudah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi.
Jika sudah demikian, dimanakah peran polisi? Sering kali polisi justru tiba di lokasi kejadian setelah pelaku sudah tidak berdaya dan bahkan sudah meregang nyawa. Keberadaan polisi seakan sudah tidak dianggap lagi oleh masyarakat. Masyarakat lebih senang main hakim sendiri karena menurut mereka tindakan main hukum sendiri ini justru akan mewakili perasaan mereka. dan tentunya mampu menjadi pelampiasan kemarahan masyarakat akan tindak kejahatan yang biasa dilakukan oleh komplotan begal ini.
Sebagaimana yang sering diungkapkan Bang Napi, “kejahatan dapat terjadi dimana-mana dan terjadi menimpa siapa saja. Kejahatan akan jadi jika ada kesempatan, maka jangan sekali-kali anda lengah dan memberikan kesempatan kepada orang lain”. dalam konteks ini dapat dikatakan jika peristiwa pembegalan ini terjadi karena minimnya ruang gerak pihak kepolisian terhadap lokasi-lokasi yang rawan pembegalan.
Tindakan penghakiman sendiri memang melanggar hukum, namun jika mereka menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib juga tidak menjamin akan diproses sesuai hukum. Hal ini dikarenakan banyak diantara komplotan begal yang memiliki jaringan dengan piihak berwenang. Dan lagi terkadang hukuman yang ditimpakan terhadap pelaku tidak setara dengan kejahatan yang mereka lakukan.
 Mengingat animo  kepercayaan masyarakat yang sudah mulai memudar. maka perlu adanya sebuah tanggapan langsung dari pihak kepolisian. Mengadakan tambahan jam malam merupakan langkah pertama yang harus ditempuh oleh puhak kepolisian. Perbaikan infrastruktur jalan dan pengadaan penerangan jalan, serta pembangunan pos polisi di lokasi yang diangap rawan terjadi pembegalan juga dirasa perlu untuk segera ditindaklanjuti.
Sebagai catatan, penambahan pos polisi di lokasi yang rawan pembegalan juga akan mempermudah polisi untuk mengawal masyarakat. Selain itu, adanya pos ini juga akan mempermudah polisi dalam mengevakuasi pelaku agar tidak menjadi bulan-bulanan warga kembali. Karena bagaimanapun juga Indonesia adalah negara hukum. Jadi segala sesuatunya harus sesuai dengan prosedur yang ada, bukan dengan main hakim sendiri.
Selain itu, pengadaan razia kendaraan bermotor secara besar-besaran juga harus segera dilakukan oleh kepolisian. Selain untuk menertibkan lalu lintas, operasi ini juga dapat dimaksudkan untuk menemukan kendaraan-kendaraan bermotor yang telah diedarkan oleh pelaku. Operasi ini nantinya juga akan mampu memberikan rasa
jera kepada pelaku begal dan juga akan memaksa masyarakat membeli kendaraan-kendaraan bermotor yang tidak memiliki kelengkapan administrasi. Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang tentram, aman dan selalu patuh terhadap hukum yang ada. Wallahu A’lamu bi Al-Shawab.
*Direktur Sekolah Pemikiran Pendiri Republik (SPPR), Menpora di Monash Institute UIN Walisongo Semarang
Sumber: Koran Wawasan, 2 Maret 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply