Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Ketika KPK Menyerah

Oleh: Nur Hamdi*

UNTUK sementara ini, koruptor boleh saja tertawa terbahak-bahak. Sebab, tu­buh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini seolah sudah kewalahan mem­bendung arus kejahatan luar biasa se­perti korupsi. Bahkan, sejak dahulu, awal KPK berdiri sudah dikebiri melalui berbagai cara.
Mereduksi kewengan melalui revisi UU mi­salnya. Dengan sedemikian rupa KPK di­lemahkan. Memang fenomena itu sangat lo­gis. Pasalnya, KPK seolah men­jadi “ma­lai­kat” yang setiap saat bias men­ju­ru­muskan seseorang atau ke lom­pok ke jeruji ta­hanan.
Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini. KPK yang dulu terkenal dengan tegas dalam memberantas korupsi, kini nampak­nya  sudah berlainan cerita. Yang terlihat KPK sudah tak bertaji. Lihat saja dalam ka­sus yang terjadi belakangan ini. Kri­minalisasi menderai KPK. Hal ini ditandai de­ngan dua pimpinan KPK ditetapkan men­jadi tersangka oleh polisi republik In­donesia (Polri); Abraham Samad di­sang­kakan atas kasus pemalsu­an dokumen dan Bambang Widjojanto men­jadi tersangka atas kasus pemberian keterangan palsu.
Implikasi dari penangkapan tersebut sangat jelas, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, dalam sistematika pe­nagkapan sehingga seseorang bias dikatakan sebagai tersangka KPK harus berdasarkan kesepa­ka­­tan semua pimpi­nan KPK. Melihat ke­nya­taan ini, Pre­siden Joko Widodo yang berperan se­bagai Presiden dan sekaligus kepala Ne­gara menyajikan formasi pimpinan KPK. Yakni,  dengan mengang­kat Taufiqur­rach­man Ruki (mantan Ketua KPK), Indriyanto Seno Adji (akademi­kus), dan Johan Budi (Deputi Pencegahan KPK) sebagai pelaksana tugas sementara pimpinan (Plt) KPK.
Pengakuan
Namun, tidak sampai berjalan lama, pim­pinan KPK malah melakukan blunder. Plt Taufiqur­rachman Ruki membuat ke­putusan yang sangat mencengangkan dalam menangani kasus Komjen Pol Budi Gunawa dalam dugaan kasus rekening gendut. Dalam rapat yang dihadiri Mentri Koodinator Politik, Hukum dan Keama­nan (Tedjo Edy Purdijanto), menteri Hu­kum dan HAM (Yassona Laoly), Jaksa Agung (HM Prasetyo), dan Wakapolri (Badrodin Haiti) di gedung KPK, pimpinan KPK menyatakan kalah dalam menangani kasus BG.
Dalam konferensi pers yang juga dihadiri seluruh pimpinan KPK, Plt Taufiq­rrachman Ruki (ketua), Adnan Pandu Praja (wakil ketua), Zulkarnaen (wakil ketua), Johan Budi SP (Plt wakil ketua KPK), dan Indriyanto Seno Adji (Plt wakil ketua KPK). Plt Ruki mengung­kap­kan bahwa lembaga super­bodi ini telah kalah dalam mengusut tun­tas dugaan ko­rupsi terkait gratifikasi dan transaksi men­curigakan yang di­lakukan oleh mantan aju­dan Presiden Me­gawati Soekarnoputri tersebut.
Setelah KPK mnyatakan keka­lahan­nya, lembaga anti rasuah tersebut melim­pahkan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Selanjutnya, setelah kasus tersebut dilemparkan ke Kejagung, perkara diteruskan ke Badan Reserse Kriminal Polri. Pilihan kasus BG yang dilem­parkan ke Kejagung dengan berdalih beralasan bah­wa KPK menghormati prapera­dilan yang penuh kejanggalan yang jelas sangat sulit diterima.
Pasca putusan praperadilkan Pengadi­lan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Hakim tunggal Sarpin Rizaldi, KPK hing­ga saat ini belum mengambil keputusan si­kap terkait upaya hukum apa yang di­lakukan selanjutnya. Namun, menjadi “anomali” ketika sokongan yang menga­lir begitu banganyak dari publik terhadap KPK, Ruki justru menya­rankan agar ka­sus BG dilemparkan ke Kejaksaan Agung.
Pimpinan KPK yang diwakili Ruki, ber­dalih bahwa lembaganya tidak hendak menghabiskan energi untuk mengurusi kasus Budi Gunawan saja. Akan tetapi KPK juga  masih fokus pada kasus yang lain. Ruki mengatakan, KPK juga ingin fokus kepada 36 perkara lain yang masih terbengkalai akibat terlalu fokus pada kasus BG. Namun, hal itu bukan menjadi alasan KPK untuk meng­hentikan kasus BG. Lebih-lebih mengakui kalah. Padhal belum melakukan tindakan yang real untuk memperjuangkan kasus tersebut sebagai tanda bukti bahwa KPK memang benar-benar lembaga yang meberantas kejahatan korupsi.
Simpang-siur KPK
Perubahan sikap KPK terhadap pe­nanganan kasus BG, tentu saja mengun­dang pertanyaan publik. Sebab, dalam penanganan kasus BG, sebelumnya KPK yang menetapkan BG sebagai tersangka dan sangat optimistis bahwa BG benar-benar bersalah. Akan tetapi sekarang malah berbanding terbalik. KPK saat ini cenderung pesimis dan terbilang sudak tidak mau terlibat dalam menangani kasus BG.
Padahal, celah upaya hukum yang di­la­ku­kan KPK pun masih terbuka lebar de­ngan berbagai opsi. Pertama, upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK). Upaya PK ini dapat dilakukan atas ke­keliruan yang nyata dalam putusan prapera­dilan.
Hal tersebut sesuai dengan Kitab Un­dang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pasal 263 ayat 2 butir C yang berbunyi bahwa, “permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar apabila putusan itu dengan jelas mem­perlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.
Kedua, mengajukan pembatalan pra­peradilan ke Mahkamah Agung (MA). Dalam hal ini KPK seharusnya memakai Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam isi undang-undang terse­but mengatakan bahwa, MA berwenang untuk mela­kukan pengawasan terhadap semua pra­dilan yang berada diba­wahnya.
KPK dapat memohon kepada MA agar putusan praperadilan BG dibatal­kan dengan alasan hakim telah melam­paui kewenangannya dengan memasuk­kan “penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan. Padahal diketahui bahwa, objek praperadilan diatur secara terbatas berdasarkan ketentuan Pasal 77 butil A dan B KUHAP.
Berjama’ah-lah !
Dari berbagai opsi tersebut seharus­nya KPK mempertimbangkan dahulu, dan jangan tergesa-gesa untu melem­parkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. Dan dari opsi itu KPK bisa meng­ambil tindakan  yang real untuk tetap tegas dalam menindak lanjuti kasus BG serta menunjukkan tajinya sebagai lembaga antibodi untuk selalu berko­mitmen dalam menumpas kejahatan yang mengambil hak rakyat. Bukan ma­lah sebaliknya, KPK malah sudah me­ngakui kekalahan dan menyerah sebe­lum bertanding.
Dalam konteks ini, melemparkan ka­sus BG ke kejagung bukan solusi yang tepat. Apalagi langkah tersebut cende­rung tidak satu suara diantara sesama pimpinan KPK. Bahkan tidak didukung oleh pegawai KPK sendiri.  Oleh sebab itu, pimpinan KPK, TR harus meng­klarifikasi dan mengoreksi perkataannya yang menyatakan “KPK telah kalah”. Hal ini bertujuan supaya KPK tidak dianggap sebagai lembaga independen yang ecek-ecek.
Dengan demikian, menyadari bahwa KPK merupakan senjata negara yang berpotensi mengamputasi/mengkebiri kasus korupsi, maka berjamaah meru­pakan langkah tepat yang harus dilaku­kan oleh lembaga penegak hukum ini. Sebab, perlu disadari bahwa kekuatan KPK adalah berjama’ah, bukan berjalan sendiri-sendiri! Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***
*Penulis adalah Ketua Komunitas Aka­demisi-Santri Intelektual Harun al-Rasyid, Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Wali­songo Semarang

 Dimuat di Harian Analisa Selasa, 17 Maret 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply