Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Saatnya Buah Lokal Naik Kelas

Oleh: Musyaffa Ahmad*
           Di Indonesia, pasar penjualan buah telah dikuasai oleh buah-buah impor. Kita ketahui bahwa hampir (90%) sembilan puluh persen buah yang dijajakan di pasar tradisional maupun supermarket didominasi oleh buah-buah impor. Dominasi buah impor yang terdapat ditempat-tempat penjualan, baik di supermarket maupun di pasar tradisional ini dikarenakan tampilan buah impor yang jauh lebih menarik, lebih besar, dan warnanya lebih cerah dibandingkan dengan produk lokal.
            Namun, dengan tampilan yang menarik, ukuran yang lebih besar, dan warna yang lebih cerah ini tidak lantas membuat buah impor layak untuk dikonsumsi. Dewasa ini, masyarakat Indonesia digemparkan dengan adanya temuan yang menyatakan bahwa di dalam buah-buah impor, ternyata mengandung bakteri listeria monocytogenes. Bakteri inilah yang memicu terjadinya penyakit Listeriosis. Penyakit yang sangat berbahaya bagi para konsumen yang mengonsumsi buah-buahan impor yang mengandung bakteri ini.
            Ini bukanlah kejadian yang pertama kali di Indonesia. Sudah kesekian kalinya buah impor segar masuk ke Indonesia, baik secara legal maupun illegal yang membawa buah yang mengandung bakteri berbahaya tersebut. Ini menunjukkan bahwa buah impor tidak selamanya lebih baik dari buah lokal. Kejelian aparat dalam mengoperasi buah-buah berbahaya menjadi benteng bagi para konsumen agar tidak menjadi korban dari buah-buahan tak sehat.
            Dengan realitas demikian, seharusnya ini dijadikan sebagai momentum untuk memberdayakan buah lokal. Buah lokal seharusnya menjadi raja di negeri sendiri, bukan sebaliknya. Seringkali perdagangan bebas dituding sebagai biang dari maraknya penjualan buah impor di Indonesia. Walaupun tidak salah, namun tidak sepenuhnya realitas ini disebabkan oleh tren penjualan bebas.
            Secara natural, Indonesia memang memerlukan yang tidak bisa dihasilkan sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pangan berupa gandung, kita memang harus mengimpornya, karena di Indonesia tidak memiliki potensi untuk menanam gandum secara maksimal. Kita juga memerlukan buah Pir karena tidak ditanam di Indonesia. Bahkan, kita juga perlu mengimpor buah apel dan mangga karena produksi domestik tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Lebih dari itu, sejatinya Indonesia abai dan lalai terhadap potensi yang terdapat di Indonesia. Akibatnya, negara lain yang memetik buahnya.
            Ketika dilihat dari potensi plasma nutfah buah-buahan tropis, misalnya, Indonesia sebetulnya lebih kaya daripada Malaysia, bahkan Thailand. Namun, ironinya buah-bauhan asli Indonesia justru tersia-siakan. Jambu Air, Pisang, dan Salak, Misalnya. Untuk Jambu Air, justru yang menjadi pengekspor terbesar bukanlah dari Indonesia melainkan negara Taiwan. Secara serius pula, Malaysia dan Filipina telah mengembangkan buah pisang mas dan barangan, dua varian buah asli Indonesia. Justru, Indonesia malah mengembangkan buah pisang Cavendish, buah yang bukan berasal dari Indonesia.
            Apel dan jeruk menjadi ironi lainnya. Banyak dari kalangan importir dan para penjual yang mengeluh karena kualitas dari buah apel dan mangga domestik tidak bagus, bentuknya beragam, dan penampilannya pun tidak menarik. Lain halnya dengan apel Fuji dan jeruk Phonkam, dua jenis buah ini justru diminati oleh sebagian besar para penjual karena penampilannya yang menarik, kualitasnya bagus, dan juga harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan apel dan jeruk domestik.
Langkah Solutif
            Untuk menekan buah-buah impor yang masuk ke Indonesia, pada tahun 2012 lalu, pemerintah sebenarnya telah memperketat peraturan, baik itu pintu masuk maupun persyaratannya. Dengan adanya kebijakan ini, maka setiap buah-buahan yang masuk ke Indonesia diselektif dengan lebih ketat dan harus memiliki persyaratan-persyaratan yang legal. Sejak adanya kebijakan itu, dilaporkan bahwa impor buah di Indonesia mengalami penurunan sekitar 52%.
            Namun, untuk mengurangi membanjirnya buah-buahan impor yang masuk di Indonesia tidak cukup hanya memperketat peraturan-peraturan buah-buah impor. Namun harus dibarengi dengan tindakan-tindakan yang solutif, komprehensif, dan dilakukan secara konsisten. Untuk itu, ada banyak cara yang sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah guna mengurangi impor buah-buahan.
            Pertama, pemetaan dan riset terhadap buah-buahan yang paling berpotensi di Indonesia. Pemetaan ini dilakukan berdasarkan buah-buah yang paling bayak diminati dan disukai oleh masyarakat. Ini akan memungkinkan pola konsumtif konsumen terhadap buah-buahan domestik. Kedua, mengembangkan potensi buah yang ada di Indonesia. Kita ketahui bahwa banyak sekali buah-buahan asli Indonesia yang banyak disukai oleh masyarakat Indonesia sendiri. Apel Malang, misalnya, ini merupakan potensi kekayaan buah asli nusantara. Apabila potensi ini dikembangkan dengan baik, bukan tak mungkin tidak hanya sebagai bahan konsumen di negeri sendiri, bahkan ini akan menjadi nilai ekspor yang sangat menguntungkan untuk negara Indonesia.
            Ketiga, memperbaiki tataran lembaga yang mengatur tentang buah-buahan, lebih tepatnya memperkuat otoritas lembaga. Selama ini, lembaga yang mengatur tentang perindustrian buah-buahan di Indonesia hanya subdirektoral yang levelnya lebih rendah dari Ditjen Holtikultural. Karena kedudukan dan levelnya rendah, maka otoritas dan kebijakannya pun terbatas.
            Keempat, memberikan pemahaman atau edukasi ihwal pentingnya mengonsumsi buah-buah segar. Konsumen harus mengerti bahwa komoditas segar buah-buahan memiliki daya tahan terbatas. Pun sama ketika ketika buah-buahan disimpan dalam lemari pendingin. Ini akan mengubah mindset masyarakat terkait perspektif terhadap buah impor. Walaupun sekarang sudah memiliki teknologi transportasi yang canggih, seperti pesawat, namun masyarakat akan berfikir dua kali ketika ingin membeli buah impor.
            Kelima, memperbaiki infrastruktur untuk menjamin pendistribusian buah dari produsen ke konsumen. Bagaimana jeruk Pontianak bisa bersaing dengan jeruk dari Thiongkok apabila ongkos dari negara Thingkok ke Jakarta lebih murah daripada ongkos dari Pontianak ke Jakarta.
            Keenam, ini merupakan langkah yang menurut penulis sangat sulit untuk pemeritah Indonesia lakukan, yakni merealisasikan semua kebijakan-kebijakan diatas. Namun, kita hanya bisa berharap kepada pemerintah Indonesia. Dengan adanya kasus buah impor yang mengandung bakteri, seharusnya sudah saatnya buah lokal untuk naik kelas. Wallahu a’lam bi al-showab.
*Ketua Ikatan Mahasiswa Alumni Takhassus al-Qur’an (IKMATAQ), Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi

 Sumber: Jateng Pos, 12 Februari 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply