Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » » HMI dan Tradisi Intelektual

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Enam puluh delapan tahun silam, tepatnya tanggal 5 Februari 1947, organisasi mahasiswa bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan. Usia yang cukup tua sebagai sebuah organisasi mahasiswa. Dengan umur itu, tentu tidak bisa dimungkiri, HMI telah banyak mempengaruhi bangsa ini. Segudang cerita telah digoreskan oleh para kader HMI untuk memperbaiki negeri tercinta. Barangkali banyak juga mantan anggota HMI yang justru tidak memperbaiki, tetapi malah ikut andil dalam merusak dan menghancurkanan negara ini. Apapun itu, yang pasti HMI tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Lahir hampir dua tahun setelah Indonesia merdeka, HMI tentu sudah pernah merasakan manis pahitnya perjuangan dan suka dukanya pengabdian. Dalam tulisan ini, penulis akan mengingatkan kembali kepada masyarakat Indonesia, khususnya para anggota HMI, mengenai apa yang telah ditorehkan oleh HMI dalam ranah intelektual. Diakui atau tidak, kekayaan dan pembaharuan pemikiran intelektual di Indonesia, terlebih mengenai Islam dan negara, sangat dipengaruhi oleh kader-kader HMI pada masanya. Hal ini sejalan dengan salah satu latar belakang didirikannya HMI, yaitu agar tradisi intelektual, budaya berpikir dan ijtihad umat Islam kembali bergelora, setelah sebelumnya pintu ijtihad “dinyatakan” ditutup.
Di awal berdirinya HMI, tradisi intelektual ini memang belum begitu kentara. Sebab, HMI pada waktu itu lebih fokus kepada penataan basis anggota dan perjuangan melawan penjajah pascakemerdekaan Negara Republik Indonesia (NRI). Bahkan, HMI ikut mengangkat senjata pada Agresi Militer II melawan Belanda dan bertempur melawan PKI. Baru pada masa Nurcholish Madjid, tradisi intelektual di HMI mulai terlihat sangat mencolok. Berawal dari gagasan pembaharuan pemikiran Nurcholish pada masa itu, Indonesia menjadi sangat dinamis pergolakan pemikirannya. Inilah yang kemudian menjadikan dinamika organisasi yang ada dalam HMI menjadi lebih hidup dan menggairahkan.
Jika disebutkan siapa saja kader HMI yang berhasil membangkitkan tradisi intelektual di Indonesia, tentu jawabannya akan sangat banyak. Tiga di antaranya pernah disebut oleh Gus Dur dalam sebuag tulisannya berjudul “Tiga Pendekar dari Chigago”. Yang dimaksud tiga pendekar itu adalah Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan Amin Rais. Ketiga pemikir itu merupakan kader-kader Himpunan. Banyak buku yang berhasil ditulis dan disusun oleh mereka. Selain ketiga tokoh di atas, masih banyak tokoh HMI yang ikut meneruskan dan mengembangkan tradisi intelektual. Sebut saja, Mahfud MD, Jimly Asshidiqy, Dawam Rahadjo, Kuntowijoyo, Ahmad Wahib, Deliar Noor, Fachri Ali, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Mohammad Nasih, dan masih banyak lagi.
Membaca romantisme HMI yang demikian memikat itu, penulis merasa perlu menyampaikan autokritik bahwa saat ini tradisi intelektual di Indonesia, terutama di HMI, mengalami stagnasi—untuk tidak dikatakan degradasi. Kader-kader HMI tidak lagi segarang dulu dalam hal pemikiran. Sepertinya memang tidak hanya kader HMI yang terkena virus pragmatis ini. Bahkan, sudah menjadi penyakit akut kebanyakan mahasiswa sekarang. Mahasiswa sudah malas membaca buku. Wegah-wegahan berdiskusi. Tidak mau atau mampu menuliskan gagasannya. Mereka lebih memilih untuk berhura-hura dan hidup bermewah-mewahan. Semua itu adalah potret umum mahasiswa saat ini. Ironis memang.
Semakin liberalnya negara ini juga menjadi salah satu faktor utama pendukung para mahasiswa hidup bebas tanpa aturan. Padahal, semua itu bertentangan dengan budaya Timur yang menjadi ciri khas Indonesia, juga bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Dalam konteks kader HMI, seharusnya yang bebas bukanlah perilakuknya, tetapi pemikirannya. Inilah yang dicontohkan oleh Ahmad Wahib, salah seorang ktivis HMI yang meninggal di usia muda, dalam bukunya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”. Wahib menuliskan kegelisahan-kegelisahan yang selama hidupnya dipikirkan. Bahkan, Wahib mendorong semua manusia untuk berpikir bebas, termasuk memikirkan Tuhan. Dengan alasan, Tuhan tidak akan pernah takut kehilangan kebesarannya, ketika manusia memikirkannya. Sebab, yang digunakan untuk berpikir adalah akal, yang tidak lain merupakan ciptaan-Nya sendiri.
Budaya Menulis
Salah satu tradisi intelektual yang terlihat sangat menurun drastis adalah budaya menulis. Seperti yang disinggung di awal bahwa semua ilmuwan dan ulama’ yang sampai saat ini dikenal adalah para penulis yang hebat. Artinya, mereka mendokumentasikan gagasannya dalam bentuk tulisan, yang itu akan tetap bisa dikaji, ditanggapi, bahkan disanggah di masa yang akan datang. Bukankan itu yang namanya tradisi intelektual? Selain para ilmuwan Indonesia yang disebutkan di atas, semua pasti sepakat jika para ilmuwan barat dan Islam dikenal karena karyanya yang fenomenal. Sebut saja, Aristoteles, Plato, Karl Marx, Karen Amstrong, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali adalah segelintir orang yang membuktikan dirinya layak didisebut ineteletual dengan buku-buku yang dihasilkan.
Itu artinya, budaya menulis tidak bisa dilupakan dan ditiadakan oleh mahasiswa, terlebih kader HMI, jika tradisi intelektual ingin terus dikembangkan di Indonesia. Langkah awal yang perlu dicoba adalah menulis di media massa. Sebab, intelektual semacam Nurcholish, Ahmad Wahid, Dawah Rahardjo, Fachri Ali, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Mohammad Nasih, dan lainnya pada masa mahasiswa selalu menuangkan gagasan-gagasannya di media-media nasional ataupun lokal. Berawal dari situlah, benih-benih penulis berbakat mulai tumbuh.
Pada faktanya, jika mahasiswa sekarang hanya mengandalkan tulisan dalam pembuatan makalah, maka akan sangat sulit untuk berkembang. Sebab, saat ini mahasiswa kebanyakan hanya copy-paste dalam menulis makalah, tanpa memahami dan mencoba mengeksplorasi isi dan maksud tulisan. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali mahasiswa mengembalikan tradisi menulis itu, jika ingin mempertahankan dan meningkatkan budaya intelektual di negeri ini. Tak mudah memang, apalagi virus pragmatisme yang kian menjadi-jadi menyerang pemuda-pemudi negeri. Namun, jika tidak mahasiswa siapa lagi. Apalagi, bagi kader HMI yang notabene adalah organisasi yang memiliki sejarah manis tentang hal yang satu ini.

Sudah semestinya, diusia ke-68 ini, segenap elemen yang masih mencintai HMI dan masih berharap pada Himpunan Mahasiswa Islam hendaknya melakukan gerakan intelektual progresif, untuk menekan pragmatisme dan hedonisme mahasiswa yang kian mengancam. Dengan begitu, seperti yang dikatakan Jendral Soedirman, HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia yang harus tetap ada dan berjuang. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
*Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Dakwah Walisongo Semarang Periode 2013-2014.
(Radar Bangka, 25 Februari 2015)

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply