Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Dari Pro-Rakyat ke Pro-Ton

Oleh: Irfan Sona*
Belum selesai memberantas kasus Polri-KPK dan banjir Jakarta, kini Jokowi harus berhadapan dengan kekecewaan masyarakat. Kekecewaan itu muncul dikarena sikap presiden ketujuh tersebut dinilai tidak pro-rakyat. Padahal, sebelum menduduki kursi kepresidenan, presiden dari PDIP tersebut selalu menggemborkan akan perkataan “pro-rakyat.” Ungkapan kekecewaan itu muncul ketika PT Adiperkasa Citra Lestari Milik AM. Hendropriyono dengan perusahan otomotif Malaysia Proton Hodlings Berhard menuai kesepakan guna memproduksi mobil yang dicanangkan akan menjadi mobil nasional (mobnas) Indonesia.
Rasa kecewa itu semakin besar, karena penandatangannya disaksikan langsung oleh Jokowi dan masuk dalam rangkaian kunjungan kenegaraan. Bahkan, karena kecewanya kepada sikap Jokowi, dengan mengatakan “katanya pro-rakyat, kok malah Pro-Ton ?” ungkapan itu memang sindiran kepada Jokowi. Akan tetapi, statemen tersebut ditulis dengan keseriusan. Ketika masa kampanye, Jokowi selalu mengedepankan ungkapan pro-rakyatnya. Bahkan, dengan yakin ia mengatakan akan selalu menggunakan produk hasil karya anak bangsa. Hal itu ditujukan untuk memajukan kemaslahatan generasi bangsa, sekaligus untuk memberikan apresiasi positif kepada mereka.
Oleh sebab itulah, Jokowi lebih memilih mobil ESEMKA sebagai kendaran kenegaraan. Akan tetapi, dengan adanya kerjasama dengan perusahan PT Adiperkasa Citra Lestari. Maka, kemungkinan besar Jokowi tidak akan lagi mendahulukan produk anak bangsa. Bukan tidak mungkin ia akan menggunakan PT tersebut untuk menciptakan mobil-mobil kenegaraan. Jika memang hal itu terjadi, maka masyarakat harus bersiap menerima implikasi dari sikap yang Jokowi lakukan.
Selain itu, Kebijakan yang dilakukan jokowi tersebut banyak menuai kontroversi di kalangan khalayak ramai. Pengamat politik dan pemerintahan Universitas Padjajaran, Bandung, Idil Akbar menilai bahwa kerjasama tersebut merupakan suatu hal yang keliru. Selain itu, dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan mematikan pengembangan proyek mobil nasional dari anak bangsa sendiri. Apalagi dibalik masalah ini muncul dugaan kuat ada dalang di belakangnya. Orang itu adalah Hendropriyono. Keterlibatan Hendropriyono di dalam perjanjian itu, semakin sulit menampik bahwa tidak ada upaya balas jasa (konsensi) politik dengan presiden Jokowi. Kendatipun ia mengatakan tidak ada konsensi dalam polemik ini, melainkan murni urusan bisnis. Akan tetapi, masyarakat tetap harus mewaspadai sikap yang Jokowi lakukan.
Di samping itu, Pakar Ekonomi senior Rizal Ramli juga telah mengingatkan Joko Widodo melali sindirannya. Matan Menko Perekonomian Era pemerintahan Gus Dur tersebut berharap Jokowi segera memperbaiki sikap, agar harapan masyarakat terhadap perubahan yang telah Jokowi janjikan bisa terwujud. Jangan sampai hanya tinggal janji tanpa bukti.
Penting Mana
Melihat sikap yang Jokowi lakukan akhir-akhir ini, mengundang pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Seperti halnya ungkapan Rizal Ramli melalui aku Twitter-nya, yaitu “lebih penting mana penampilan fisik yang merakyat atau kebijakan ekonomi yang berpihak untuk rakyat.” Sebenarnya, sangat menyakitkan ketika penampilan pemimpin merakat, tetapi kebijakan-kebijakan dan prilaku seorang pemimpin itu sendiri sama sekali tidak berpihak pada rakyat.
Sangat disayangkan sekali, ketika seorang pemimpin hanya berpihak pada kelompok tertentu saja, apalagi jika KKN. Hal semacam itu tentu saja akan menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat. Lantas, apakah pantas Jokowi bertahan dengan sikap tersebut, sementara kondisi bangsa semakin memburuk. Berbagai macam kasus tidak menemukan jalan keluar. Jika sudah seperti ini, maka Jokowi atau berpihak pada siapa. Kepada rakyat atau membiarkan rakyat hidup dengan memakan janji-janji Jokowi.
Seharusnya Jokowi bisa lebih sigap dalam bertindak. Membuat keputusan haruslah di dasarkan pada pertimbangan banyak orang, agar tidak merugikan negara dan rakyat. Sikap tegas, berani, dan tangguh haruslah dimiliki oleh seorang pemimpin dalam hal ini presiden. Sebab, di situlah kelayakan seorang pemimpin diuji.
Rizal Ramli termasuk yang menolak kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM. Tapi tak asal menolak. Dia punya solusi atas besarnya alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yaitu, dengan mekanisme subsidi silang.
Tidak hanya itu, dia juga menolak rencana Wapres Jusuf Kalla yang akan menaikkan harga LPG 3 kg. Menurutnya itu adalah bentuk sikap yang hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis, tidak peduli kepada nasib rakyat kecil. "Jika Presiden Jokowi setuju dengan kenaikan harga LPG 3 kg tersebut, dia telah terperangkap dengan pola pikir JK. Hanya pertimbangan bisnis finansial, lupa dengan tanggung jawab terhadap rakyat kecil. Kok tega-teganya,” kata Rizal Ramli. (Sorotnews, Minggu 14 Desember 2014).
Solusi cerdas
Berpijak pada kondisi bangsa akhir-akhir ini, telah menjadikan negara ini kehilangan arah. Itu semua terjadi, karena ketidaktahuan seorang pemimpin dalam memimpin. Ironisnya lagi, dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Jenis manusia seperti ini digambarkan oleh Imam Syafi’I sebagai golongan terendah derajatnya. Bahkan, type manusia ini sangat tidak layak untuk dijadikan pemimpin.
Lalu, bagaimana dengan kondisi pemimpin yang ada sekarang. Untuk menjawab permasalahan itu, maka mau tidak mau Jokowi harus menyadari betul kesalah sikap yang dia ambil. Mumpun semua belum terlambat, maka rubahlah. Selain itu, Jokowi harus menambah kualitas diri, terutama dalam masalah keilmuan. Seorang pemimpin yan tidak berilmu, maka pastilah akan “ngawur”di dalam memimpin. Jadi, jika Jokowi tidak ingin dikatakan sebagai presiden yang plin-plan, tidak punya pendirian, dan cenderung apatis, maka sudah menjadi kewajibannya untuk belajar lagi.
Sebab, menjadi pemimpin itu tidaklah mudah. Dibutuhkan usaha yang keras serta modal yang besar. Apalagi jika ingin menjadi pemimpin yang benar-benar merakyat, bukan sekedar  merakyat, tentu dibutuhkan keilmuan yang memadai. Oleh sebab itu, Jokowi dan seluruh jajaran pemerintahan harus mulai berbenah diri sembari belajar untuk menamba kualitas diri. Agar saat memimpin, ia tidak akan dilemma lagi. 
*Direktur Lembaga Kajian Sosial, Politik, dan Kebudayaan UIN Walisongo Semarang

 Sumber: 28 Februari 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply