Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Kemerdekaan dan Revolusi Mental

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz

Selama 69 tahun merdeka, Indonesia memang mengalami kemajuan di pelbagai bidang. Namun, sepertinya kemajuan itu berjalan lebih lambat jika dibandingkan dengan negeri-negeri tetangga. Salah satu indikator sederhana adalah soal pendidikan lintas negara. Dulu, tahun 90-an, banyak pelajar dari negara tetangga, semisal Malaysia yang berbondong-bondong ke Indonesia untuk menuntut ilmu. Namun, sekarang keadaan itu justru berbalik. Pelajar Indonesia lebih banyak yang menuntut ilmu ke negeri Jiran, daripada kuliah di negeri sendiri. Dan anehnya, mereka lebih bangga bisa belajar di negeri orang dibanding di negeri sendiri. Jika yang terjadi demikian, tentu ini bukan lagi kemajuan, tetapi kemunduruan, terutama kemunduruan cara berpikir dan bersikap.
Persoalan Mentalitas
Dalam kasus di atas, ada masalah elementer yang menjadi persoalan yang selanjutnya sangat berpengaruh pada sikap bangsa ini dalam konteks pergaulan internasional. Ya, persoalan mendasar itu adalah persoalan mentalitas atau paradigma. Bayangkan, warga negara Indonesia lebih berbesar hati belajar di negeri orang daripada di rumah sendiri. Secara tidak langsung, ini sama saja menganggap bahwa kualitas pendidikan Indonesia tidak lebih baik dari negara tetangga. Bahkan, jika disuruh memilih antara sekolah di Indonesia atau di negara tetangga, kebanyakan pasti memilih sekolah di negara tetangga dengan alasan lebih berkualitas. Inilah mentalitas kebanyakan masyarakat Indonesia yang menunjukkan mentalitas inferior.
Tidak hanya itu, sebagian besar warga Indonesia juga lebih bangga menggunakan produk-produk luar negeri, dibandingkan menggunakan produk dalam negeri, meskipun kadang secara kualitas, produk-produk itu tidak jauh berbeda. Itulah sebab mengapa sampai saat ini Indonesia tidak mampu “bersaing” untuk menjadi negara maju. Mentalitas warga negara yang menganggap bangsa lain lebih sangar daripada bangsa sendiri itulah yang disebut mental inlander. Sepertinya memang kolonialisme yang dulu terjadi di Indonesia masih meninggalkan atsar. Bekas itu adalah masih banyaknya warga negara yang menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa yang lemah dan tidak lebih besar dari bangsa lain. Itulah yang kemudian membuat penulis menyatakan bahwa Indonesia masih terjajah sindrome mental budak.
Disebut demikian karena secara umum budak adalah manusia yang tidak memiliki kontrol atas diri mereka sendiri. Para budak telah kehilangan hak sehingga membuka kesempatan pihak-pihak lain untuk menguasai dirinya. Dalam jangka yang panjang, para budak akan menganggap eksploitasi itu sebagai bagian dari “takdir” hidup. Sebab, para budak merasa seolah berada dalam zona yang mau tidak mau mereka harus menikmatinya. Secara legal formal, sistem perbudakan memang sudah tiada. Namun, secara subtansi, sistem itu masih membelenggu bangsa Indonesia, yang mewujud pada mentalitas warga negara.
Revolisi Mental
Dalam Islam, budak menjadi ladang beramal, yang barang siapa memedekakan mereka, maka akan mendapat pahala yang besar. Hal itu termaktub dalam al-Qur’an, “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan? Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan....” (QS Al-Balad: 8–13). Dalam konteks ayat di atas, tentu saja sudah tidak relevan jika yang dimaksud adalah perbudakan masa lalu, karena memang secara konseptual sistem perbudakan memang telah sirna dari muka bumi ini. Oleh sebab itu, agar perintah itu tetap relevan dan bisa dijalankan oleh umat Islam, maka sangat tepat jika perbudakan yang dimaksud di atas ditafsirkan sebagai mentalitas budak.
Dengan kata lain, revolusi mental adalah cara yang tepat untuk mewujudkan hal itu. Bicara soal revolusi mental, kita ingat gagasan revolusi mental yang dimunculkan oleh Jokowi beberapa waktu lalu. Presiden terpilih itu berpandangan bahwa sebenarnya untuk menjadi negara yang maju, Indonesia tidak butuh waktu lama dan cara yang sulit, karena memang negeri ini mempunyai kekayaan yang luar biasa, yang bahkan tidak dimiliki oleh negara-negara maju sekalipun. Mari bandingkan antara Indonesia dengan salah satu negara maju di ASEAN, Singapura. Negara kecil yang juga berpenduduk sedikit itu menjadi salah satu negara di Asia yang mendapatkan predikat sebagai negara maju. Menurut Global Finance (media bisnis terkemuka Amerika Serikat), Singapura menempati peringkat empat negara terkaya di dunia dengan pendapatan perkapita US$ 52.840. Bahkan, Singapura menjadi negara dengan kualitas hidup nomor satu di Asia.
Seharusnya Indonesia malu melihat kenyataan ini. Potensi SDA dan SDM yang diberikan Tuhan begitu melimpah dan banyak kepada Indonesia, namun mengapa negeri ini tidak juga menjadi negara maju dan justru bangga menyandang predikat sebagai negara berkembang.
Sifat minder, inferior, tidak bangga dengan yang dimiliki, atau menyerah dengan keadaan merupakan sifat-sifat yang diwariskan oleh sebagian pendahulu bangsa yang telah lama dijajah oleh para penjajah. Selain pejuang yang mempertaruhkan nyawa, ternyata ada orang-orang yang menyerah dengan keadaan dijajah. Orang-orang itulah yang kemudian mewariskan cara berpikir, bersikap, dan bertindak kepada anak-anak mereka. Pewarisan sistem perbudakan baru ini kemudian berubah menjadi sebuah tradisi. Jika ini dibiarkan, maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan Indonesia ke depan.
Kemerdekaan yang diperjuangkan akan sia-sia, jika generasi selanjutnya bukan merupakan generasi pejuang. Apalagi jika yang ada hanyalah generasi penikmat, tentu sangat berbahaya. Setidaknya, kita menjadi generasi penerus. Namun, harus dicatat bahwa yang diteruskan adalah gagasan, sikap, dan tindakan positif para pendahulu bangsa, dan menghilangkan yang negatif. Para pendiri bangsa sesungguhnya telah membuat simbol kemerdekaan yang luar biasa. yang harapannya bisa menjadi semangat rakyat Indonesia. Simbol-simbol itu diantaranya adalah Istana Merdeka dan masjid Istiqlal, yang keduanya terletak berdekatan. Istana merdeka jelas menampakkan simbol kemerdekaan, sedangkan nama Istilqal berasal dari bahasa Arab yang artinya merdeka atau mandiri. Kedua simbol itu seharusnya menjadikan spirit kemerdekaan bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang hebat. Revolusi mental harus segera dilakukan, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma inferior menjadi superior. Dengan begitu, sikap dan tindakan yang keluar dari dalam diri setiap warga negara akan mengantarkan kepada sebuah kemajuan yang revolusioner. Semoga.
*Peneliti Senior di Monash Institute, Direktur of Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) IAIN Walisongo Semarang.

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply