Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Demokrasi Unik Indonesia

PeOleh: Mokhamad Abdul Aziz
Pmbicaraan mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) terus memanas. Pemicunya adalah pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pilkada oleh DPR yang rencananya akan disahkan pada 25 September 2014 ini. Isu sentral yang masih menjadi perdebatan adalah apakah pilkdada dilaksanakansecara langsung sebagaimana yang sudah berjalan di banyak daerah selama satu dekade ini, atau dipilih kembalikan kepada DPRD. Penulis mencatat, dalam sepuluh hari terakhir, Republika telah menampilkan beberapa gagasan masyarakat mengenai ikhwal ini lewat Rubrik Opini. Penulis tertarik untuk mengulas tulisan-tulisan tersebut.
Tulisan pertama “Pilkada dan Makna Demokratis“ (15/09) oleh Sulardi mengisyaratkan agar pemilihan kepala daerah diselenggarakan berdasarkan pada kemauan dan kesiapan masing masing daerah, suapaya penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih khidmat dan tidak kehilangan nilai demokrasinya. Dengan kata lain, penyelenggaraan Pilkada diserahkan kepada daerah, apakah dilakukan langsung oleh rakyat, oleh DPRD, atau dengan cara yang lain. Sulardi beralasan bahwa pada hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman, termasuk dalam hal berdemokrasi.
Kedua, tulisan M Aminudin berjudul “Solusi RUU Pilkada” (18/09) memberikan alternatif pemecahan masalah mengenai ini, dengan menawarkan opsi bahwa penyelenggaraan Pilkada bisa dibedakan antara kabupaten/kota dengan provinsi. Alasannya sederhana, bahwa kabupaten/kota adalah Unit Dasar yang berfokus pada pelayanan, sehingga untuk Unit Dasar, pilkada seharusnya bersifat dipilih langsung oleh rakyat (direct democracy). Sedangkan daerah provinsi disebut Unit Antara yang berperan utama dalam pengoordinasian. Dengan alasan itu, Aminudin memberikan pilihan bahwa pemilihan gubernur bisa dilakukan melalui mekanisme dipilih oleh badan perwakilan (representative democracy).
Ketiga, tulisan Samsul Hadi Karim berjudul “Plus Minur RUU Pilkada” (19/09) lebih menampilkan madlarat dari masing-masing mekanisme, baik secara langsung oleh rakyat maupun dilakukan di DPRD. Intinya, jika yang dibicarakan adalah politik uang dan budaya suap-menyuap dalam Pilkada, maka keduanya memiliki peluang relatif sama untuk dirasuki praktik haram itu. Namun, jika memang dalam prosesnya nanti, DPR memutuskan bahwa pilkada dikembalikan ke DPRD, maka peran lembaga semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus dilibatkan. Dengan begitu, peluang terjadinya suap-menyuap dalam pilkada akan bisa diminimalisasi.
Keempat, tulisan “Jangan Ambil Hak Rakyat” (20/09) oleh Bustami Zainudin menguatkan agar pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Jika dikembalikan kepada pilkada tak langsung, maka hal itu akan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia yang sudah berkembang sedemikian pesat. Bustami menjelaskan bahwa mekanisme pilkada secara langsung merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari penghormatan tertinggi terhadap kedaulatan rakyat. Selain itu, pengembalian pilkada melalui DPRD tidak sejalan dengan agenda besar demokrasi Indonesia berupa penguatan sistem presidensial di tingkat nasional maupun lokal.
Dari keempat tulisan itu, rata-rata para penulisnya membanggakan sistem demokrasi, meskipun ada yang mengusulkan agar demokrasi dikoreksi, salah satunya dengan meninjau ulang pilkada langsung. Bahkan, dengan mengutip pendapat para pakar, Bustami Zainudin mengingatkan kita bahwa demokrasi bukanlah sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian, demokrasi menurut para pakar ilmu adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sistem-sistem yang lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi, dan lain-lain).
Penulis meyakini bahwa founding fathers and mather negeri ini juga telah membaca dan memahami konsep demokrasi yang pada saat itu telah berkembang pesat di Barat. Sehingga, dengan berbagai macam kelemahan sistem demokrasi, mereka akhirnya memiliki konsep yang berbeda, bahkan seolah-olah bertentangan dengan konsep Barat. Mari mengingat kembali sejarah panjang perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Bagaimana perdebatan ideologis antara tiga kelompok; nasionalis, islamis, dan komunis—meski pada akhirnya hanya tersisa perdebatan sengit antara nasionalis yang dimotori oleh Soekarno dan Hatta dengan kelompok islamis yang digawangi oleh Wahid Hasyim, Agus Salim, Kahar Mudzakir, Ki Bagus Hadikusumo—dalam rangka merekonstruksi negara ini, untuk mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Dengan sagala dinamikanya, akhirnya disepakati bahwa konsep negara Indonesia merdeka adalah ­nation-state dengan agama sebagai pengisi nilai-nilai di dalamnya. Semua gagasan itu terformulasikan dalam sebuah ideologi negara yang kemudian diberi nama Pancasila. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bentuk jelas bahwa Indonesia bukan negara sekuler sebagaimana negara-negara Barat. Berkaitan dengan demokrasi yang “didewa-dewakan” saat ini, para pendiri bangsa ini telah mengetahui, bahkan memprediksi apa yang akan terjadi jika demokrasi liberal diterapkan di Indonesia secara membabi-buta. Akhirnya, yang mereka khawatirkan terjadi juga, bahkan, meminjam istilah Mohammad Nasih, demokrasi yang terjadi saat ini bukan lagi iberal sebagaimana yang dipraktikan oleh Barat, tetapi demokrasi ultraliberal.
Melihat praktik demokrasi yang mengandalkan suara myoritas di negeri ini, maka harusdiakui bahwa demokrasi tidak cocok dengan konteks rakyat Indonesia dan Pancasila. Sebab, kebanyakan rakyat, bukan bermaksud menjustifikasi atau menghinakan rakyat, tidak memiliki kebijaksanaan (al-hikmah) yang cukup untuk menentukan pilihan dalam bermusyawarah (baca: Pemilu). Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menyatakan bahwa “kebanyakan mereka tidak mengetahui” (al-An’am: 37, 111; al-A’raf: 131, dan 187; al-Anfal: 34; Yunus: 55; Yusuf: 21, 40, dan 68; al-Nahl: 38 dan 101; al-Naml: 61, al-Qashash: 13 dan 57; al-Rum: 6 dan 30; Luqman: 25; Saba’: 28 dan 36; al-Zumar: 29 dan 49; Ghafir: 57, al-Dukhan: 39, al-Jathiyah: 26; al-Thûr: 47). Juga menyatakan bahwa kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ('Ali `Imrân: 110; al-Ma'idah: 49, 59, dan 81;al-'A`raf: 102; al-Taubah: 8; al-Hadid: 16, 26, dan 27).
Dengan alasan itulah, para pendiri bangsa menuliskan sila ke empat Pancasila dengan bunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kata ‘rakyat’ adalah bahasa Arab yang berarti gembalaan atau dipelihara, dan kata hikmat dalam bahasa Arab, yaitu al-hikmah berarti kebijaksanaan. Sedangkan, “permusyawaran-perwakilan” juga merujuk pada istilah bahasa Arab; musyawarah yang sering disamakan dengan demokrasi, dan kata wakil berarti sandaran atau pengganti. Dengn konsep yang demikian, pendiri bangsa ini menghendaki agar rakyat dipelihara oleh orang-orang yang menjadi wakil rakyat dalam konteks negara, yang memiliki kebijaksanaan melalui jalan musyawarah untuk mufakat.

Itulah konsep demokrasi unik yang diinginkan oleh para founding fathers kita. Secara sepintas, sepertinya memang demokrasi sesuai dengan musyawarah mufakat, tetapi jika dilihat secara lebih dalam, konsep musyawarah-mufakat yang dimiliki Indonesia (Islam) ternyata lebih unggul dibandingkan dengan konsep demokrasi yang diperkenalkan oleh Barat.

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply