Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Mencari ‘Jodoh’ Jokowi

Keputusan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang memberikan mandat kepada Joko Widodo untuk menjadi calon presiden dari partai berlambang banteng moncong putih itu, menjadikan persaingan Pemilu 2014 semakin panas. Selain PDIP sendiri yang semakin bersemangat untuk memenangkan pesta demokrasi lima tahunan itu—karena Jokowi menjadi capres—partai-partai lain pun, mau tidak mau, harus berkerja lebih keras untuk menjaga peluang mereka, menang di pileg nanti. Dengan kata lain, pencapresan Jokowi oleh PDIP memberikan energi positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia saat ini.
Merakyat dan Populer
Memang secara faktual, Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, belum menunjukkan hasil yang mayakinkan terhadap Ibu Kota Indonesia itu. Namun, gaya Jokowi yang sederhana dan suka blusukan ke kampung-kampung, ternyata berhasil memikat hati rakyat Indonesia, yang kebetulan sedang muak dengan pajabat yang bergaya hedonis dan glamor. Sikap asketis yang terdapat pada diri Jokowi memang sangat didambakan oleh penghuni negeri ini. Itulah sebab mengapa Jokowi selalu menempati posisi teratas dalam setiap survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei dan media massa. Namun, dengan populariats yang fenomenal itu, tidak cukup untuk mengubah Indonesia yang saat ini sedang menghadapi problem yang begitu kompleks.
“Jokowi juga manusia”. Itulah kata-kata yang keluar dari para pendukungnya, ketika Jokowi dikritik soal kinerjanya sebagai gubernur DKI Jakarta. Memang tidak adil jika semua masalah dan beban bangsa ini hanya disandarkan kepada Jokowi. Semua masyarakat Indonesia harus. Oleh sebab itu, Jokowi harus mencari jodoh yang tepat, agar dapat sama-sama bersinergi dengan baik nantinya. Dalam konteks ini, PDIP harus menemukan calon wakil presiden (cawapres) yang compatible dengan Jokowi, baik mencari figur dari PDIP sendiri maupun berkoalisi dengan partai lain.
Melihat kemungkinan besar menang di Pilpres nanti, kini Jokowi seolah menjadi rebutan. Ibarat kata, Jokowi adalah perjaka mapan, yang diinginkan oleh gadis-gadis yang haus akan kemapanan itu.
Koalisi Semangka Terulang?
Dalam konteks ini, apapun partainya dan siapapun—yang percaya dengan hasil-hasil survei selama ini—pasti ingin berkoalisi dengan PDIP pada pilpres nanti, kecuali partai yang mempunyai prinsip berbeda. Termasuk peluang koalisi dengan partai-partai Islam atau pun partai yang memiliki basis massa ormas Islam. Sebagaimana hasil-hasil survei yang dirilis, elektabilitas partai-partai Islam cenderung stagnan, bahkan beberapa partai merosot, sehingga peluang PDIP untuk berkoalisi mereka sangatlah potensial. Sebut saja PKB, PKS, PPP, PAN, dan PBB sangat berpeluang untuk menawarkan cawapres kepada PDIP untuk disandingkan dengan Jokowi di Pilpres 2014.
Sejak pemilihan umum mulai diselenggarakan di Indonesia, hubungan antara keduanya dalam konteks perpolitikan Indonesia memang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, sejarah merekam perdebatan seru antara proklamator kemerdekaan Indonesia—sekaligus pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), yang merupakan cikal bakal PDI dan PDI Perjuangan—Soekarno dengan mantan perdana menteri Mohammad Natsir yang merupakan pendiri partai Masyumi, salah satu partai Islam terpandang saat itu. Dari kedua tokoh itulah, perang ideologi politik antara golongan Islamis (hijau) dengan kelompok marhain-nasionalis (merah) dimulai. Puncaknya pada 1960, Soekarno membubarkan Masyumi sebagai salah satu entitas politik di Indonesia. Sehingga, pada Pemilu 1971 massa “hijau” berdiaspora ke partai-partai Islam yang tersisa saat itu, semacam NU, Parmusi, PSII, dan PERTI.
Selanjutnya, pada masa Orde Baru (Pemilu 1977-1997) partai Islam melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan begitu, PPP selalu menempati peringkat ke dua setelah Partai Golkar di posisi pertama. Sedangkan, PDI—sebagai kelanjutan evolusi PNI—berada di peringkat ketiga, di bawah Golkar dan PPP. Pada masa ini, pertemuan antara si merah dan si hijau tidak berdampak pada perubahan kekuasaan. Sebab, kondisi pemerintahan yang otoritarian menjadikan Golkar yang selalu menjadi kampiun di setiap pemilu digelar.
Namun, semua berubah pasca reformasi 1998. Pemilu 1999 menjadi buktinya. PDI Perjuangan, yang merupakan kelanjutan dari PDI, memenangkan pemilu pertama yang dilaksanakan di era reformasi. Namun, karena berbagai faktor, yang menjadi presiden justru dari kelompok hijau, ialah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu merupakan ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Megawati Soekarnoputri yang merupakan ketua umum partai pemenang pemilu legislatif 1999, akhirnya hanya menjadi wakil presiden. Namun, selang dua tahun, Gus Dur dilengserkan. Tepatnya pada 23 Juli 2001. Megawati mengambil alih posisi presiden dengan wakil presiden Hamzah Haz dari PPP. Di sinilah koalisi semangka terbentuk. Merah yang berarti daging semangka adalah PDIP, dan hijau berarti kulit semangka adalah PPP.
Koalisi semangka terulang pada Pemilu 2004. Megawati yang kembali mencalonkan diri sebagai presiden dari PDIP didampingi oleh tokoh NU, Hasyim Muzadi sebagai wakil presiden. Namun, koalisi ini tidak berhasil memenangkan Pilpres 2004, yang merupakan pilpres pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Mega-Hasyim dikalahkan oleh SBY-JK. Sedangkan, pada Pemilu 2009, koalisi semangka tidak terjadi lagi. Sebab, PDIP yang mencalonkan Megawati untuk ketiga kalinya, lebih memilih Prabowo Subianto sebagai cawapres. Sedangkan, kelompok hijau lebih memilih menjadi kulit bagi Partai Demokrat yang kembali memenangkan pilpres dengan pasangan SBY-Boediono.

Melihat ritme politik yang sedang terjadi saat ini, koalisi semangka tidak menutup kemungkinan akan terjadi kembali. Nama-nama yang sedang digodok oleh PKB—seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Rhoma Irama, yang rencanannya akan dicalonkan sebagai presiden dari PKB—bukan tidak mungkin akan menjadi ‘jodoh’ bagi Jokowi, jika hasil pemilu legislatif tidak memungkinkan untuk mengusung sendiri calon presiden. Belum dari kelompok partai Islam lainnya, misalnya PAN dengan Hatta Rajasa nya, PKS yang mengusulkan Hidayat Nur Wahid atau Anis Matta, PPP yang menawarkan Suryadarma Ali, atau bahkan PBB yang menjodohkan Jokowi dengan Yusril Ihza Mahendra. Tentu ini menjadi hal yang menarik untuk ditunggu. Siapakah jodoh Jokowi? Semoga yang terbaik. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Radar Bangka, 3 April 2014

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply