Oleh: Defina Holistika Aktif di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) UIN Walisongo, Semarang |
Kemunculan berbagai gerakan radikal bukanlah sebuah fenomena yang
mengherankan. Dalam kondisi yang sarat akan ketimpangan, baik dalam keadilan
hukum, ekonomi, mapun kelas sosial, perlawanan pun kemudian muncul dalam sebuah
gerakan radikal. Cara kekerasan pun dipilih sebagai jalan terakhir untuk
mewujudkan ambisi memperbaiki carut-marut dunia. Pengikut gerakan ini tidak
bisa dibilang sedikit. Selalu ada saja sekelompok orang yang tertarik untuk
bergabung meski harus menempuh jalan yang sulit. Tentu saja kaum laki-laki adalah
yang terdepan. Gerakan yang mengusung jalan kekerasan ini dianggap lebih
condong pada kaum adam yang diidentikkan dengan kekuatan fisik. Kekuatan ini
menjadi prasyarat sekaligus penentu kekuatan sebuah kelompok radikal.
Lalu bagaimana eksistensi perempuan dalam gerakan ini? fenomena yang
terjadi belakangan ini menjadi jawabannya. Beberapa waktu lalu masyarakat
sempat dicemaskan dengan pemberitaan mengenai sejumlah perempuan yang diduga
memilih jalan nekat bergabung dengan IS. Seperti yang dilakukan tiga remaja
putri asal Inggris yang bertolak menuju Suriah melalui Turki. Fenomena ini
ternyata juga telah menular ke Indonesia. Lihat saja pemberitaan mengenai
hilangnya satu keluarga, berikut seorang perempuan yang tengah mengandung, dan
seorang balita yang memisahkan diri dari kelompok tur di Turki. Mereka diduga
menyelinap ke Suriah untuk bergabung dengan IS. Kenekatan yang sama juga
dilakukan oleh seorang mahasiswi asal Demak serta beberapa Perempuan asal Jawa
Barat.
Lalu apa sesungguhnya yang hendak mereka (perempuan) cari hingga rela
meninggalkan kampung halaman dan keluarga tercinta? Apa yang sesungguhnya bisa
mereka lakukan apabila medan jihad telah dikuasai laki-laki? Melihat kenyataan
ini, tentu dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan dalam kelompok ini masihlah
inferior. Namun, hal ini juga berarti bahwa gerakan radikal memiliki daya tarik
lain yang sanggup menjadi medan magnet yang begitu kuat.
Pada dasarnya, perempuan juga memilki hasrat yang sama dengan laki-laki
untuk dapat mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang damai. Merupakan hal yang
wajar apabila mereka beranggapan bahwa gerekan radikal semacam IS mampu
mewujudkan impian mereka. Konsep-konsep yang ditawarkan, seperti negara
khilafah akhirnya menjadi jalan keluar dari kebuntuan solusi selama ini. Hal
ini tentu saja hanya berlaku bagi kelompok perempuan yang sebelumnya memang
telah meyakini konsep negara Islam.
Gagasan-gagasan mereka yang cenderung radikal, tidak mudah diterima oleh
masyarakat luas. Kebanyakan orang bahkan sangat mengecam gerakan ini, karena
sangat meresahkan. Munculnya gerakan-gerakan radikal ke muka publik akhirnya
sekaligus membuka celah bagi mereka yang sepakat untuk bergabung di dalamnya.
Hal ini wajar, mengingat kebutuhan manusia yang butuh pengakuan atas eksistensinya.
Dalam kelompok ini mereka beranggapan telah mendapatkan posisi dan sekaligus
bisa berperan aktif. Meski kelompok ini terkesan patriarkat, namun peran
perempuan di dalamnya sama sekali tidak bisa dipandang sebelah mata. Lanny
Octavia, dari Yayasan Rumah Kitab yang meneliti peran perempuan dalam
gerakan-gerakan radikal ini sangat meyakini bahwa perempuan memiliki pengaruh
besar dalam tubuh sebuah gerakan radikal. Lanny yang pernah mewawancarai
beberapa perempuan anggota gerakan radikal bahkan menegaskan bahwa tanpa peran
perempuan, kelompok fundamentalis ini akan lumpuh.
Menjadi anggota kelompok radikal tak serta merta membuat perempuan
diturunkan ke medan perang. Perempuan dianggap memiliki lahan jihad lain, yang
kelak juga akan mengantarkan mereka menuju gerbang surga, sama seperti para
mujahid laki-laki. Peran utama perempuan dalam kelompok ini dilakukan melalui
reproduksi. Mereka merasa menjadi sosok yang sangat mulia dan istimewa ketika
bisa melahirkan banyak anak yang akan memperluas penyebaran ideologi mereka,
serta meneruskan perjuangan dalam berjihad. Tak mengherankan apabila mereka
juga tidak keberatan dipoligami. Sebab, melalui cara ini akan ada lebih banyak
anak yang dihasilkan dan tentu saja akan lebih besar pahala yang dijanjikan.
Selain itu, sekelompok perempuan yang lain juga berusaha menunjukkan
eksistensi mereka melalui keterampilan yang dimiliki. Mereka berusaha
menunjukkan kelebihan mereka seperti dalam hal penguasaan alat berteknologi
canggih, bahasa, dan merakit bom. Variabel-variabel semacam ini tentu mebuat
mereka lebih dipertimbangkan dan memiliki posisi strategis. Dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal merupakan
wujud dari rasa rindu akan sebuah pengakuan. Pengakuan ini tidak mereka dapatkan
di tengah masyarakat luas tidak bisa menerima ideologi mereka. Akibatnya,
posisi mereka menjadi termarginalkan. Mereka butuh pengakuan akan
gagasan-gagasan yang membuktikan kepedulian mereka terhadap lingkungan
sekitarnya. Sayangnya, hasrat ini berbelok ke arah yang salah.
Kesalahpahaman ini tentu tidak dapat dibiarkan, terlebih ada indikasi bahwa
pemahaman yang salah ini telah menyebar luas. Perempuan yang memilih cara
pintas untuk merealisasikan mimpi mereka, sebenarnya belum bisa memahami makna
jihad yang sebenarnya. Keputusan mereka untuk bergabung dengan gerakan radikal
sesungguhnya juga menggambarkan kedangkalan pemahaman agama yang mereka miliki.
Hal ini tentu saja harus diluruskan. Kebanyakan mereka berasal dari kalangan
fundamentalis yang mendapatkan pengajaran agama yang cenderung dogmatis dan
memicu pemahaman yang tidak sempurna.
Untuk menangkal ancaman gerakan radikal, peran keluarga juga sangat
dibutuhkan untuk memberikan perlindungan dari ideologi-ideologi yang
menyimpang. Terutama sosok Ibu yang telah merawat anak sejak kecil, sehingga
bisa lebih leluasa untuk menanamkan nilai-nilai agama yang benar. Secara umum,
keluarga juga berperan dalam mengawasi pergaulan anak. Dengan pemantauan yang
tepat, tidak sulit untuk mendeteksi ketika ada kemungkinan perilaku yang
menyimpang dari seorang anak. Wallahu a’lam bi al-shawab.(**)
Radar Bangka Kamis, 23 April 2015
Tidak ada komentar: