Oleh Ulfa Nurul Wahida
Mahasiswi FITK UIN Walisongo Semarang & Aktivis
Muda Gerakan Muslimah RA. Kartini
DALAM buku karya Betty Freidan berjudul “The
Feminine Mystique” 1963 dijelaskan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu
rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak berkembang
kepribadiannya. Perspektif virus peradaban ini kemudian terus menginfeksi tubuh
masyarakat dan sering diperjuangkan oleh orang-orang feminis.
Denyut suara emansipasi yang dikoar-koarkan oleh wanita semakin kuat di
tengah cengkraman maut perkembangan zaman. Konsep emansipasi yang diilhami dari
gerakan feminisme liberal ini menuntut kesetaraan teruntuk kaum wanita. Tanpa
melihat status, golongan, dan agama, apabila dia adalah wanita, mereka wajib
dan harus mendapatkan kesetaraan tersebut.
Tidak hanya berperan dalam ranah domestik, bagi wanita, selama mereka mampu
dalam menjalankannya, mengapa harus dikungkung dalam ranah domestik saja?
Sebuah pertanyaan yang mudah, tapi membutuhkan jawaban secara detail dan
komperehensif. Dalam sejarah Indonesia pra kemerdekaan, masyarakat Indonesia,
khususnya dari kaum hawa, mengusung Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor gerakan
emansipasi wanita pada masa kolonial. Sebab, karena dia-lah yang “teguh” dalam
memperlopori gerakan perempuan pada masa itu. Tujuannya adalah agar wanita
berhak mendapatkan kesetaraan hak-nya dalam bidang pendidikan. Ingat! Hanya
pendidikan!
Alhasil, berkah dan rahmat Tuhan YME terlimpahkan untuk, Kartini. Berkat
peran dan perjuangnya dia mampu membawa wanita dalam kemerdekaan. Dulunya
wanita hanya berperan sebagai wadah kasur (beranak), dapur (memasak), sumur
(bersih-bersih). Kini, pendidikan sudah bisa didapatkan seorang wanita hingga
sekarang. Dahulu wanita diperbudak dan terjerumus dalam lembah kegelapan. Kini,
keluar dan bebas dengan iringan cahanya yang terang (baca: Habislah gelap,
Terbitlah terang). Namun, dengan berputarnya roda kehidupan, keserakahan wanita
mulai muncul setelah hak mereka terpenuhi.
Era-globalisasi berjalan begitu cepat, kehausan akan hal yang baru selain
di bidang domestik menuntut mereka untuk berekspresi dalamruang yang terbuka.
Buktinya, selain dalam bidang pendidikan, kebanyakan wanita sekarang ingin
diakui eksistensinya dalam publik dengan cara menggeluti bidang yang mereka
inginkan. Banyak dari mereka yang telah berkecimpung dalam organisasi sosial,
memiliki profesi dan bahkan meniti karirnya dalam dunia politik.
Kebutuhan tersebut pada dasarnya wajar-wajar saja. Tidak ada yang melarang
ataupun bahkan menghalangi. Asal tidak berlebihan, kebutuhan tersebut merupakan
hak yang pantas mereka dapatkan. Namun, setelah mendapatkan ruang yang cukup
untuk bereksistensi dan sibuk dalam ruang publik, menyebabkan mereka lupa akan
kewajiban pokok yang harus dilakukan seorang wanita.
Ya, kebanyakan mereka lupa, tidak sadar, bahkan tidak memperdulikannya.
Kewajibannya sebagai seorang istri dari seorang suami dan ibu dari seorang anak
mulai luntur. Yang berperan hanya pembantu, pembantu, dan pembantu. Mereka
sibuk dengan profesi dan karir. Dan ini-lah yang disebut “emansipasi tingkat
tinggi” alias “kebablasen”.
Peran Mulia Wanita
Di antara persoalan yang sering muncul dalam masyarakat, adalah kedudukan
wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam masyarakat. Misalnya,
dalam masyarakat (adat-istiadat) Indonesia memiliki kedudukan berbeda-beda.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, bentuk dan susunan masyarakat
tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat yang
bersangkutan. Nah, dari sistem nilai ini akan menjadi peran sekaligus berfungsi
sebagai pedoman kehidupan mereka. Apabila dalam suatu masyarakat yang dianut
berdasarkan ajaran islam, otomatis kedudukan wanita lebih ditentukan ajaran
islam sendiri.
Ajaran islam sendiri memberikan kedudukan dan penghormatan yang tinggi
kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Terdapat beberapa bukti yang
menguatkan argument bahwa ajaran islam memberikan kedudukan yang tinggi kepada
wanita. Bahkan, sebagai bentuk penunjukan betapa pentingnya kedudukan wanita,
dalam al-Quran terdapat surah An-nisa (wanita). Tidakhanya al-quran yang
menguak eksistensi wanita. Terdapat puluhan hadits Nabi Muhammad yang
membicarakan kedudukan wanita dalam hokum dan masyarakat.
Salah satu hadits rasulullah yang sangat volusioner berbunyi “Yang terbaik
di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadap kaum
wanita”. Atau pula: “Barang siapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya
dengan kasih sayang, ia akan masuk sorga”. Kemudian: “Sorga itu berada di bawah
telapak kaki ibu” (hadits). Berdasarkan hadits tersebut, dapat kita lihat betapa muliannya
seorang wanita. Apalah artinya karir, apalah artinya profesi, jikalau tugas
pokok sebagai seorang wanita. Oleh sebab itu, Islam menetapkan peran wanita
sebagai ibu dan meneger rumah tangga. Dan peran tersebut sangat cukup dan tidak
lebih, dari pada mengkoar-koarkan suara emansipasi yang berujung tidak berarti.
Merupakan sesuatu yang sangat penting bagi wanita untuk lebih fokus pada
perannya. Islam sangat memprihatikan peran dan tugas perempuan. Jika kita
membaca hadits, Rasulullah bersabda “Madarasah yang paling utama adalah ibu”.
Sebab, ibu-lah adalah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan
peradaban bangsa yang lebih baik.
Selain berperan dalam ruang domestik, Islam juga memberi kesempatan untuk
perumpuan dalam ruang publik. Al-qur’an dalam khitobnya yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat telah menepatkan perempuan pada posisi yang seimbang
dengan laki-laki. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’,
dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama. (baca:QS al-Nisâ [4]: 32).
Selainitu, Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki
untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amarma’rufnahimunkar, meski
caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah
sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang munkar”. Nah, dari persepektif di atas telah
menunjukkan, bahwasahnya hal pokok yang harus dilakukan seorang perempuan
adalah menjalankan perannya dengan benar. Peran dalam ruang domestic, menjadi
ibu dan istri. Peran dalam ruang public adalah menebarkan amarma’rufnahimunkar.
Iangat, suara emansipasi tidaklah berarti. Justru akan membawa pada kesesatan
yang jelas.WaAllahua’lam bi al-showab.(**)
Radar Bangka Selasa, 21 April 2015
Tidak ada komentar: