Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Lingkaran Setan Negeri Begal

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Menarik membaca tulisan M. Sabiq Kamalul Haq berjudul “Negeri Begal” di Koran Wawasan Edisi Senin, 9 Maret 2015. Sabiq menyebut negeri begal untuk menggambarkan kondisi dan situasi Indonesia yang belakangan ini heboh dengan kasus pembegalan. Bahkan, sebutan negeri begal tidak hanya digunakan untuk mangasosiasikan ganasanya begal jalanan belakanga ini, tetapi juga perilaku koruptif yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini.
Penyebutan negeri begal itu memang tidak salah, meskipun sedikit kurang pas, karena memang perilaku begal ini lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan selainnya dari seluruh warga negara Indonesia. Namun, melihat hebohnya, masyarakat Indonesia membicarakan begal, memang sebutan "negeri begal" cukup layak untuk menggambarkan kondisi bangsa Indonesia belakangan ini. Dalam konteks ini, penulis akan membahas lebih spesifik kepada begal jalanan yang membuat masyarakat, Sabiq menyebutnya, lebay.
Banyaknya pembahasan mengenai kejahatan begal akhir-akhir ini, memang membuat masyarakat kian mengerti, sadar, dan waspada terhadap ancaman kejahatan satu ini.  Berangkat dari realitas yang ada dan setelah melalui perenungan yang panjang, ternyata ada sebuah siklus yang membentuk lingkaran setan penyebab kejahatan begal terus mengancam. Dan ini mestinya diketahui oleh negara, agar lebih mudah dalam memberantas begalisme ini.
Harus diketahui, para pelaku begal meakukan aksi nekat merampas, bahkan sampai membunuh sebenarnya tidak sendirian dalam menjalankan “bisnis” ini. Ya, ada penadah. Mereka yang akan membeli barang hasil begalan. Karena itu, seharusnya para penadah ini jua harus diberantas. Pasalnya, mereka ikut berperan penting dalam rangka ‘mengembangkan’ kejahatan begal ini. Logikanya, para pelaku begal semangat dalam menjalankan aksinya, karena hasilnya sudah akan ditunggu oleh para penadah.
Namun, ada sedikit kelucuan jika hanya menyalahkan penadah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas maraknya aksi begal tersbeut. Untuk melakukan pembelaan, kira-kira mereka akan berkata begini: “Saya menadah barang-barang hasil begal bukan karena keinginan sendiri. Namun, semua itu saya lakukan untuk memenuhi permintaan pasar, yang pembelinya tidak lain adalah masyarakat. Saya hanya sebagai blantik (baca: calo). Membeli barang dari para pembegal dan menjualnya kepada masyarakat. Saya kira, ini sama-sama untung.” Sekilas, argumen penadah ini bisa dibenarkan. Ironis bukan.
Logika sederhananya, para penadah itu tidak mungkin ‘berkerja’, ketika masyarakat tidak menginginkan barang hasil rampasan jalanan itu. Persoalannya adalah masyarakat ternyata juga menginginkan barang hasil begalan. Alasannya sederhana. Murah (dan tidak perlu repot-repot mengurusi pajak, jika itu berupa kendaraan) adalah alasan yang seolah-olah bisa diterima. Dalam konteks ini, mentalitas miskin warga negara belum hilang dari sebagian masyarakat Indonesia. Masih menyukai sesuatu yang murah, tanpa melihat darimana sesuatu itu didapatkan dan bagaimana cara mendapatkannya, adalah penyakit mental yang harus direvolusi.
Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh negara. Apalagi slogan ‘Revolusi Mental’ yang digagas oleh Jokowi sangat relevan dengan hal ini. Bagaimana caranya dan harus dimulai dari mana? Para pemimpin di negeri ini harus berpikir keras. Semakin tidak segera ditindaklanjuti, persoalan yang dihadapi bangsa ini akan semakin rumit dan sulit. Dengan demikian, akan semakin sukar pula mencari jalan keluarnya. Jika paradigma yang mengakar dalam masyarakat masih demikian, tampaknya aksi begal akan sulit dibersihkan dari negeri ini, apalagi sampai ke akar-akarnya.
Memutus Lingkaran Setan
Negara harus bertanggung jawab memutus lingkaran setan tersebut, agar kejahatan ini bisa dihentikan. Kehadiran negara sangat diperlukan dalam konteks ini, untuk mengembalikan marwah bangsa Indonesia sebagai negeri yang aman, nyaman, dan tentram.
Ada beberapa opsi yang bisa diprioritaskan untuk memutus lingkaran setan tersebut. Pertama, bisa dilakukan melalui ketegasan pemerintah dalam memberantas pelaku begal. Mereka sudah membuat masyarakat resah dan khawatir. Pihak kepolisian harus menindak tegas pelaku begal ketika tertangkap. Untuk mempermudah hal itu, kepolisian semestinya berkerjasama dengan masyarakat untuk menangkap para pelaku begal. Ini juga untuk mengantisipasi agar jangan sampai rakyat main hakim sendiri.
Kedua, pihak berwajid juga harus memberantas penadah. Ini dilakukan dengan maksud agar pelaku begal tidak yakin dalam melakukan aksinya, karena khawatir tidak ada yang membeli hasil begalannya. Ancaman hukuman berat perlu diterapkan kepada para penadah. Ketiga, ini adalah cara yang lebih sulit dilakukan, yaitu mengubah mentalitas misikin warga negara, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Merngubah mindset ini penting, karena akan berdampak pada pola laku dan pola tingkah bangsa Indonesia. Sekali lagi, revolusi paradigma harus dilakukan, agar masyarakat memiliki mentalitas yang sehat dan positif.

Jangan sampai anak-cucu kita nanti hanya bisa meratapi kegagalan negara dalam mengatasi dan memberantas kejahatan begal. Sudah cukup mereka meratapi cerita yang menyebutkan banyaknya “begal” yang telah tinggal di istana negara, senayan, dan tempat-tempat lain penguasa negeri. Harapan rakyat Indonesia, tentu semua begal bisa diberantas, baik yang bersenjata parang, pisau, senapan, maupun dasi dan jas kehormatan. Namun, jika semua itu terlalu berat, setidaknya memulai pemberantasan dari begal kampungan  patut dilakukan oleh negara, agar negeri ini tidak terus disebut negeri begal lagi.Wallahu a’lam bi al-shawaab.
*Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang, Dewan Penasihat di Center for Democracy and Religious Studies UIN Walisongo Semarang
Dimuat di Koran Wawasan, 14 November 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply