Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Jokowi Dimakzulkan, Mungkinkah?

Oleh: Ahmad Anwar Musyafa’*
Jika mempelajari sejarah pada tahun 1998, tentu dibenak kita akan terngiang uefria pelengseran masal yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Hingga akhirnya sejarah mencatat, era reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya ketika presiden ke-dua, Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh BJ Habibie selaku wakilnya.
Adapun faktor yang melatar belakangi mundurnya Presiden ke-dua itu disebabkan oleh adanya pelbagai kasus yang menjeratnya. Yakni, KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).Sebab, kala itu, KKN diduga menjadi faktor utama kebobrokan sekaligus merosotnya perekonomian Indoesia. Sehingga terjadilah  kekecewaan dan ketidak puasan publik terhadap kinerja pemerintahan pimpinan Soeharto. Alhasil, demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh pelbagai kalangan, baik Mahasiswa maupun rakyat biasa tak bisa terbendung keberlangsungannya.
Jika ditelaah lebih lanjut, era reformasi telah terjadi kurang lebih enam belas tahun. Namun bukan berarti hal tersebut tak bisa terulang kembali. Sebab, jika melihat konteks Indonesia dewasa ini, KKN telah kembali berkerumun ditengah panasnya gunjang-ganjing politik: mengakibatkan rakyat kembali menunjukkan sikap murkanya terhadap kinerja birokrasi yang dinahkodahi oleh Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, latar belakang kemurkaan masyarakat juga disebabkan oleh Janji presiden Jokowi terkait penegakan hukum di indonesia, yang sampai saat ini belum ada titik cerah. Namun justru malah sebaliknya. Bisa dibayangkan, selama 100 hari Jokowi memimpin Indonesia, janji untuk menegakkan hukum pupus di tengah jalan.
Hal ini bisa dibuktikan dengan membludaknya“politik” saling tikam yang terjadi antara KPK-Polri, Polri-TNI, pejabat korup yang kian menjadi dan ambisipenenggelaman kapal yang taksesuai konstitusi. Yang lebih Ironis lagi, tak lama ini banyak isu muncul di media masa yang menyebut nama presiden Jokowi terlibat dalam kasus korupsi Bus Trans Jakarta.
Refleksi 1998
Di luar aturan yang tercantum di konstitusi, UUD 1945 dimungkinkannya kekuatan masa (people power) dalam rangka menggulingkan pemeintahan yang sah karena dianggap otoriter, dan terdapat ketidak-puasan terhadap pemerintahan atau keretakan tokoh plitik yang memiliki pengaruh kuat. Seperti halnya saat lengernya presiden Soeharto (1998) merupakan hasil dari tekanan massa dan MPR yang dipimpin Harmoko “memberi” Supportaksi agar Soeharto mundur.
Bisa dikatakan, kekuatan masa sangat besar pengaruhnya bagi pemakzulan Presiden. Mantan Presiden Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijatuhkan dari Kursi pemerintahan karena adanya dukungan dari MPR (Majlis Pemusyawaratan Rakyat) dan MPRS (Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara) selaku lembaga tertingi negara yang memiliki kewenangan melantik ataupun menjatuhkan presiden. Otoritar MPR yang besar ini kerap-kali mengundang banyak kontroversi negatif berupa politisasi pertanggung jawaban seorang presiden sebagai mana yang tela dialami oleh mantan Presiden BJ Habibie.
            Namun, seiring dengan ambisi untuk menyempurnakan kehidupan demokrasi di Indonesia, kewenangan MPR untuk melantik ataupun menurunkan presiden sudah tidak berlaku lagi. Hal iu dilatarbelakangi oleh semangat untuk menciptakan kesinambungan kewenangan antar berbagai cabang kekuasaan.Melalui empat tahap amandemen UUD 1945, MPR mengalami pengurangan hak secara signifikan. Hingga perubahan besarpun terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang, saat ini parlemen masih memiliki hak untuk mengajukan usul pemberhentian presiden dan memproses pemakzulan terhadap presiden. Meskipun demikian, hal itu tidak serta-merta dapat dilakukan tanpa melalui proses penilaian hukum yang saksama dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan Pasal 7B Ayat 1 UUD 1945.
Pasal 7B Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Berarti, sepanjang presiden/wakil presiden yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945 dan sumpah jabatan, tindakan pemakzulan tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan. Karena itu, MPR tidak dapat menjalankan hak konstitusional untuk memproses pemakzulan hanya kerena seorang presiden membuat kebijakan yang dianggap tidak populer atau sekadar didasarkan pada rasa ketidakpuasan dari sejumlah pihak.
Karena itu, segala upaya melakukan pemakzulan terhadap pemerintahan Jokowi-Jk besar kemungkinan tidak akan mendapatkan dukungan struktural dari lembaga politik yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut. Apalagi jika tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran UUD 1945 maupun sumpah jabatan.
Akan tetapi, pada saat ini Presiden Jokowi-Jk mengalami “degradasi” moral yang cukup buruk. Disamping tidak bisa memenuhi janjinya untuk memberantas korupsi, Jokowi juga digadang sebagai Capres “wayang modern”. Hal ini yang menyebabkan keniscayaan rakyat untuk Memakzulkan Jokowi dari kursi kepresidenannya.

 Penulis sangat mewanti-wanti, jangan sampai pelbagai janji yang dilontarkan Jokowi-JK pada saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu menjadi bumerang dan sebab dirinya turun dari kursi kepresidenan dengan tidak terhormat. Oleh sebab itu, konsekwensi logis guna menanggulangi hal tersebut tidak terjadi, maka Jokowi beserta kabinetnya harus bekerja keras: mengaplikasikan gagasan visonernya guna mengembalikan kepercayaan publik.Dengan demikian, kemarahan yang berimplikasi pada pemakzulan pun melalui kehendak Tuhan akan bisa terbendung. Wallahu a’lam bi al-Shawab

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply