Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Terbukanya Tabir Politik Perempuan


Oleh: Mokhamad Abdul Aziz*
Saat ini partai-partai politik tengah kelabakan dan sibuk mencari kandidat anggota parlemen perempuan untuk dicalonkan pada Pemilu 2014. Tentu saja, posisi tawar perempuan saat ini sedang menaik, karena banyak partai yang mengejar mereka untuk dicalonkan sebagai calon legeslatif (caleg). Inilah kesempatan yang sesungguhnya bagi perempuan untuk berpolitik.
Namun, bukan berarti tidak ada masalah. Dalam sebuah survei, terungkap bahwa langkah partai politik dalam merekrut kaum perempuan sebagai pengurus partai ataupun calon anggota legeslatif masih sebatas kuantitas saja. Dengan kata lain, secara kualitas perempuan-perempuan yang direkrut partai belum menunjukkan keadaan yang sesuai harapan. Itu artinya, partai politik memang dibuat pusing tujuh keliling oleh persyaratan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut, sehingga dalam praktiknya terjebak dalam rekrutmen secara kuantitas.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 7 tahun 2013 pasal 24 ayat 1 ditegaskan bahwa persyaratan keterwakilan 30 persen perempuan untuk setiap daerah pemilihan memberikan konsekuensi bagi pencalegan tiap parpol. Hal itu dijelaskan dengan Pasal 27 ayat 1 bahwa jika ketentuan itu tidak terpenuhi, maka parpol tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal caleg di dapil bersangkutan. Dan parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu peserta untuk dapil tersebut.
Paturan KPU tersebut telah sejalan dengan Undang-Undang Pemilu nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Secara perundangan, kuota 30 persen memang bukanlah hal yang baru, tetapi bahwa ada sanksi jika tidak memenuhinya merupakan kebijakan baru KPU yang diketuai oleh Husni Kamil Manik tersebut. Jika sudah demikian, maka tidak ada alasan lagi bagi partai politik peserta pemilu untuk menolak peraturan tersebut. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua partai peserta Pemilu harus berusaha memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang telah diamantkan Undang-undang itu. Jika tidak terpenuhi, konsekuensi logisnya adalah parpol tersebut hanya akan menjadi “penonton” atau hanya duduk di bangku cadangan dalam Pemilu 2014.

Saatnya Perempuan Bepolitik
Di balik semua itu, sebenarnya inilah saatnya kaum hawa berpolitik. Jika dulu perempuan yang memiliki hasrat berpolitik, tetapi harus mengubur keinginannya gara-gara kultur politik yang tidak mendukung, maka sekarang tidak ada alasan lagi bagi perempuan untuk tidak turut serta dalam pesta demokrasi. Aturan yang telah ditetapkan KPU tersebut tentu menjadi “pintu” bagi kaum perempuan untuk terjun dalam dunia politik. Dengan kata lain, peraturan yang mensyaratkan terpenuhinya kuota 30 persen bagi perempuan sebagai calon anggota legislatif Pemilu 2014 ini, membuka belenggu politik permpuan yang selama ini menjadi penghalang.
Kebijakan KPU tersebut telah menimbulkan pro kontra pada partai politik peserta Pemilu dan di kalangan pengamat politik. Partai-partai politik pun menanggapi hal ini dengan tanggapan yang beragam. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, merasa keberatan dengan syarat tersebut, dengan alasan tidak mudah mencari politisi perempuan. Namun, PDIP dan Hanura mendukung kebijakan tersebut dan siap untuk memenuhi kuota tersebut, meski sulit. Hal senada diungkapkan Partai Pendatang baru Pemilu 2014, Partai Nasdem. Sebagai partai yang menginginkan perubahan, tentu saja Nasdem sangat mendukung hal itu, meski juga tidak mudah memenuhinya.
Banyak yang berpendapat bahwa aturan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen bukanlah hal yang ideal. Karena mereka beralasan jika anggota parlemen adalah wakil rakyat yang harus mengakomodasi aspirasi rakyat, sehingga akan lebih baik jika dibuat terbuka supaya yang nanti terpilih benar-benar mempunyai kualitas yang baik. Sebagai negara demokrasi, yang salah satu cirinya adalah menempatkan kesetaraan gender sebagai tujuan utama, maka sudah barang tentu usaha-usaha untuk mencapai hal itu harus dilakukan. Dalam hal ini, upaya KPU sudah tepat, agar peempuan juga mempunyai peran dalam bidang politik.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2009, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya sekitar 18 persen, di DPRD provinsi sekitar 16 persen, serta di DPRD kabupaten dan kota kurang lebih 12 persen. Namun, dari situ seharusnya semua partai politik harus sadar bahwa mereka memang harus menyiapkan para politisi perempuan, sehingga kaum hawa punya andil dan kesempatan yang sama dalam berdemokrasi.
Mengapa perempuan harus berpolitik? Inilah yang harus dipahami. Bahwa tujuan perempuan masuk dalam dunia politik adalah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sensitif perempuan. Dalam hal ini, laki-laki belum tentu paham apa kebutuhan seorang perempuan, karena yang mengerti betul soal itu adalah perempuan sendiri. Bukan bermaksud merendahkan, atau mendiskriminasikan satu sama lain, tetapi hal ini memang berbeda dan harus dipahami dengan baik. Dengan demikian, tak akan ada kebijakan yang sensitif gender atau cenderung diskriminatif jika orang yang membuat adalah mengerti betul mengenai hal itu.
Yang terpenting adalah bagaimana perempuan bisa memahami politik dengan baik, agar orientasinya nanti bukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk mengurusi rakyat dan mengatur negara. Secara etimologi, politik berasal dari bahasa Yunani polis, yang artinya kota (baca: negara). Dari pengertian ini, esensi politik yaitu seni untuk mengatur dan menata kota untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan warga kota.
Kata “politik” juga bisa dihubungkan dengan bahasa Inggris polite yang artinya kesopanan. Maka, semua aktivitas politik harus berpegang teguh pada etika kesopanan. Dalam bahasa Arab, politik dikenal dengan nama siyasah yang berarti mengurusi atau melayani. Harapannya, politik akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan kemiskinan.
Oleh sebab itu, partai politik harus memaksimalkan fungsinya dalam memberikan pendidikan politik, agar perempuan yang berpolitik nantinya tidak keliru dalam memahami politik dan bagaimana menjalankannya. Dengan begitu, perjuangan politik perempuan tidak akan terjebak kepada kepentingan-kepentingan jangka pendek yang merugikan rakyat.
*Direktur School of Gender and Political Islam di Monash Institute

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply