Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Pemimpin Asketis untuk "Negeri" Hedonis

Mokhamad Abdul Aziz (Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang)
KETUA Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri dalam orasi politik pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-40 PDIP, di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (10/1), mengajak para kader PDIP agar tidak bermegah-megahan. Pernyataan ini muncul karena melihat situasi perpolitikan Indonesia yang kian "hedonis".
Perilaku para politisi saat ini banyak yang terjebak dalam sikap hidup hedonistis; ditambah gaya hidup anak muda zaman sekarang, sepertinya negara ini layak disebut negeri hedonis. Memang gaya hidup bermewah-mewahan dan terkesan glamor sudah menjadi fenomena yang menjangkiti para petinggi di negara ini. Padahal, gaya hidup inilah yang menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di Indonesia.
Dengan kondisi yang demikian, maka saat ini Indonesia sangat membutuhkan pemimpin asketis. Sebab, pemimpin asketis akan mengubah gaya hidup yang sekarang ini sudah sangat menjangkiti para pejabat ini. Secara etimologis, asketis bisa diartikan sebagai sikap sederhana, jujur, dan rela berkorban.
Pemimpin asketis memang sangat sulit dijumpai pada masa sekarang. Pejabat-pejabat yang hidup bermewah-mewahan ini seharusnya introspeksi dan membaca sejarah. Sebab, semua itu terjadi karena ada founding fathers yang sudah mati-matian mengorbankan jiwa dan raga demi terwujudnya kemerdekaan RI.
Sikap hidup hedonistis di kalangan petinggi negara ini disebabkan mereka menganggap dirinya sebagai pejabat, bukan pemimpin. Pejabat adalah orang yang memiliki jabatan. Menganggap diri mempunyai jabatan bisa dianalogikan dengan ketika kita punya rumah atau kendaraan yang setiap saat bisa digunakan sesuai keinginan kita.
Dengan modus kepemilikan yang seperti ini, membuat mereka ingin memanfaatkan jabatannya sesuai dengan dorongan nafsunya. Sehingga, jabatan akan menjadi properti yang harus dimanfaatkan kapan saja dan di mana pun mereka berada asalkan upaya pemanfaatan itu bisa dilakukan.
Beda lagi dengan pemimpin. Seorang pemimpin adalah teladan, cermin, dan mempunyai tanggung jawab atas amanat yang diembannya. Memang, pada dasarnya setiap manusia dilahirkan sebagai pemimpin. Entah pemimpin untuk dirinya sendiri, keluarga, atau pemimpin bagi siapapun yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Ketika ia dipilih dan diangkat menjadi pejabat dengan tugas-tugas yang melekat pada jabatannya, maka ia akan menganggap jabatan itu sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan. Pada akhirnya, jabatan dianggap sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan. Sama halnya dengan ia menunaikan tugas-tugas kemanusiaan yang sudah melekat sejak lahir.
Dengan paradigma itu bisa dipastikan pemimpin tidak akan bergaya hedonistis sebagaimana menjadi ciri pejabat saat ini. Dengan kata lain, jabatan bagi pejabat merupakan rezeki yang didapat dengan susah payah dan harus disyukuri jika sudah didapat dengan cara memanfaatkan jabatan itu sebaik-baiknya. Namun, bagi pemimpin, jabatan adalah tambahan tanggung jawab kemanusiaan atau amanat yang harus ditunaikan dengan baik dan benar.
Dengan demikian, karakter-karakter asketis berupa sikap rela berkorban, jujur, dan kesederhaan akan melekat dan tak terpisahkan dari seorang pemimpin. Sebaliknya, karakter asketis itu tak mungkin bisa diharapkan dari seorang pejabat, karena pejabat tidak merasa punya tanggung jawab. Bahkan, bagi pejabat semua sikap itu hanya akan melipatgandakan kerugian saja. Sebab, ia sudah merasa berkorban dan rugi dalam meraih jabatan itu, sehingga mereka berpikir mengapa harus ditambah pengorbanan dan kerugian lagi.

Teladan Pendiri Bangsa
Hidup dalam kesederhanaan harus mulai disadari oleh para pejabat negara. Sebab, mereka adalah cermin dan teladan bagi rakyat. Meski hidup dalam harta berlimpah, sebaiknya para pejabat tidak perlu memamerkan kekayaannya kepada publik. Seperti halnya Kasman Singodimedjo, meski kaya raya, hidupnya tetap sederhana. Ke mana-mana menggunakan kendaraan umum atau dibonceng sepeda motor oleh anak-anak muda pada masa itu.
Salah satu figur founding father yang luar biasa lainnya adalah Leimena, menjabat Menteri Kesehatan 10 kali dari kabinet Amir Syarifuddin hingga Berhanuddin Harahap, juga menjabat dalam 18 kabinet yang berbeda mulai Kabinet Syahrir II (1946) sampai Kabinet Dwikora (1966). Ia tidak menunjukkan hidup yang hedonistis. Dalam kesehariannya tetap sederhana. Bahkan ia tidak pernah memakai kendaraan dinas saat pergi di luar tugas. Tidak hanya itu, sehabis pulang bertugas ia langsung mengganti pakaiannya dengan sarung, tampil seperti rakyat biasa dan tidak segan-segan bercengkrama dengan mereka.
Para pemegang amanat rakyat seharusnya meneladani perilaku dan sikap para pendahulu bangsa kita. Ini tidak hanya dilakukan oleh presiden dan wakil presiden. Para wakil rakyat, para pejabat yang ada di lembaga yudikatif, dan semua yang terjun dalam pemerintahan hendaknya meneladani sikap asketis para pendiri bangsa ini. Mereka adalah pemimpin, bukan pejabat. Kesederhanaan mereka akan membuat rakyat hormat dan merasa dekat.
Dengan demikian, lahirnya pemimpin asketis sangat dibutuhkan oleh bangsa ini. Sebab, selama ini rakyat sudah muak dengan gaya hidup pejabat-pejabat yang hedonistis dan sama sekali tidak memikirkan rakyat. Karena itu, dibutuhkan kesadaran bersama secara kolektif untuk meminta mereka bersedia menerima tambahan tanggung jawab sebagai pemimpin. Figur seperti Joko Widodo (Jokowi) yang sekarang dijadikan style oleh PDIP patut kita ajukan sebagai pemimpin masa depan. Selain itu, sosok seperti Mahfud MD, KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah), Taufiq Kiemas, KH Musthofa Bisri (Gus Mus), atau Dr Mohammad Nasih bisa diharapkan untuk menjadi pemimpin asketis, karena mereka terbukti tidak hidup bermewah-mewahan.

Ajakan Megawati untuk kader-kader PDIP agar tidak bermewah-mewahan memang patut kita apresiasi. Spirit untuk melahirkan pemimpin asketis harus terus bergemuruh. Pemimpin asketis akan membuat rakyat lebih dekat dan hormat, karena kesederhanaannya, sebagaimana dilakukan Joko Widodo selama ini. Untuk mewujudkan semua itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, semuanya pasti bisa jika diusahakan. Butuh kesadaran kolektif agar bisa mewujudkan hal itu.

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply