Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Allah: Siapa dan Nama Dari Mana?

Allah: Siapa dan Nama Dari Mana?
Oleh: Dr. Mohammad Nasih
(Guru Utama di Monash Institute)
Pendahuluan
Kata Allah dalam al-Qur’an tersebar di lebih dari dua ribu ayat.  Penyebutan kata tersebut terdapat dalam berbagai konteks, di antaranya dalam deskripsi tentang masyarakat Arab pra-Islam, masyarakat yang percaya kepada kenabian Muhammad, dan masyarakat yang menentang kenabiannya. Karena itu, untuk mengetahui konsepsi yang komprehensif tentang Allah, tidak cukup hanya mengetahui konsep tentang kata tersebut dalam beberapa ayat saja, apalagi secara sepotong-sepotong. Untuk mendapatkan konsepsi tentang Allah secara total, tidak parsial, perlu pembacaan al-Qur’an secara keseluruhan.
Namun, sebagian umat Islam masih keliru dalam memahami konsep tentang Allah ini. Kekeliruan tersebut nampak dalam beberapa hal: pertama, menganggap bahwa Allah adalah nama yang eksklusif hanya bagi umat Islam saja, sehingga gagal dalam memahami siapa Allah yang sesungguhnya; dan kedua, menganggap bahwa Allah adalah sebuah nama yang diberikan oleh Allah sendiri. Kekeliruan pemahaman tersebut, dalam praktik kehidupan sehari-hari, terjadi terutama dalam interaksi dengan penganut agama lain, sehingga seringkali menyebabkan konflik-konflik kelompok antar-agama.[1]
Untuk itu, makalah ini mengangkat permasalahan ini secara terperinci sebagai berikut:
1.      Apakah Allah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an merupakan kelanjutan dari konsep pra Islam, atau mempresentasikan hakikat Allah yang sama sekali terputus dengan konsep masyarakat pra-Islam?
2.      Apa konsep yang ditawarkan oleh al-Qur’an tentang Allah?
3.      Apakah kata Allah dalam al-Qur’an merupakan persoalan sebuah kata biasa lainnya yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?
Analisis
Makkah terletak di jalur perdagangan internasional dan dengan sendirinya menjadi pusat perdagangan yang penting. Makkah makmur karena letaknya berada di jalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan Mediterania, Teluk Persia, Laut Merah melalui Jiddah, dan Afrika. Posisi strategis Makkah ini karena ia adalah juga pusat aktivitas keagamaan.[2] Untuk memahami kebutuhan spiritual, masyarakat Arab malakukan penyembahan terhadap tuhan-tuhan yang digambarkan dalam wujud patung manusia. Menurut Ibnu Hisyam kepercayaan ini karena pengaruh dari Syiria. Cara berkepercayaan ini kemudian menjadi dominan. Mereka memiliki banyak tempat suci dan upacara keagamaan. Mereka menyerahkan kurban kepada tuhan-tuhan yang berwujud patung-patung dari batu-batu kasar, dan mereka berarak mengnelilingi tempat peribadatan mereka. Sebanyak tidak kurang dari 360 patung disembah.
Al-Qur’an merekam tentang kepercayaan bangsa Arab pada berhala-berhala ini sebagai  kepercayaan yang sudah dikenal sejak zaman Nabi Nuh dan merupakan berhala-berhala terbesar.
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً (نوح: 23)
Artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr”[3]. (Nuh: 23)
Patung yang paling terkenal adalah Hubal yang dipercayai dapat mendatangkan hujan ketika dimintai. Patung ini diletakkan di tengah-tengah sumur di dalam Ka’bah dan dianggap sebagai tuhan paling penting di Makkah. Seluruh sesaji yang dipersembahkan untuknnya diletakkan di sumur. Hubal juga dimanfaatkan untuk ramalan. Tiga patung yang lain yang terkenal di Makkah dan bahkan disebut oleh al-Qur’an adalah al-Lâta, al-‘Uzzâ, dan Manât. Al-Latta di Tha’if mempunyai kedudukan sebagai dewi Semit garis ibu, kesuburan, dan langit. Sedangkan al-‘Uzzâ berarti perkasa atau terhormat. Tempat pemujaannya berada di Nakhla, beberapa mil di sebelah utara Makkah di sepanjang jalan Makkah dan Iraq. Dan Manat di Pantai Laut Merah antara Makkah dan Madinah yang disembah oleh suku ‘Aus dan Khazraj, adalah model dewa perempuan yang menentukan nasib dan keberuntungan.
Di samping itu, pada masa pra-Islam masing-masing suku Arab memiliki tuhan-tuhan lokal yang hanya populer dalam lingkup teritorial tertentu saja. Sedangkan dalam lingkup teritorial yang lain, kurang atau bahkan sama sekali tidak dikenal. Akan tetapi masyarakat suku-suku tersebut mempunyai gagasan tentang Tuhan yang melampaui batas kualifikasi lokal suku tertentu dan dikenal oleh semua suku yang ada. Mereka menyebutnya dengan Allah.
Jadi, kepercayaan kepada Allah dicampuradukkan dengan kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang lain. Kalau digambarkan secara konkrit susunannya akan membentuk sebuah piramida dengan Tuhan yang dikenal oleh seluruh suku yang mereka sebut dengan Allah menempati posisi puncak piramida dan dewa-dewa lokal berada di bawah posisi Allah dan hanya sebagai perantara saja untuk menuju kepada Allah. Konsepsi ini jelas dari pernyataan mereka sendiri yang diabadikan oleh al-Qur’an:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Artinya: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (al-Zumar: 3)
Dalam konteks ini, kata Allah sesungguhnya tidak ubahnya kata-kata lainnya yang mengalami pergeseran makna sesuai dengan pemahaman masyarakat yang menggunakannya. Sebelum Islam, mayoritas masyarakat Arab pagan menganggap bahwa Allah adalah tuhan tertinggi yang di bawahnya terdapat  tuhan-tuhan lain. Tuhan tertinggi itu adalah tuhan yang paling berkuasa dan menciptakan langit dan bumi.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah): ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari dan bulan?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’”. (al-Ankabut: 61)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah): ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’”. (al-Zukhruf: 87)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah , tetapi kebanyakan mereka tidak memahami”. (al-‘Ankabût: 63)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, Siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, Segala puji bagi Allah ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (Luqman: 25)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Artinya: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (al-Zumar: 38)
Lima ayat di atas menjelaskan bahwa masyarakat Arab jahiliyah meyakini keberadaan Allah Swt. dan memiliki berbagai macam kemampuan maha besar dalam menciptakan langit dan bumi, memberikan rizki, menurunkan hujan, dan menundukkan matahari dan bulan. Namun, mereka juga percaya tuhan-tuhan kecil lainnya. Masyarakat Arab menganut paham politeisme yang menempatkan Allah pada posisi tertinggi dalam hirarki ketuhanan, yaitu dalam kapasitas sebagai ”Tuhan Ka’bah” di Makkah. Karena itu, di antara mereka juga melakukan peribadatan di Ka’bah. Sementara Tuhan-tuhan lain dihormati sebagai penghubung anatara Tuhan tertinggi ini (Allah) dengan manusia.
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Artinya: “Tidaklah shalat (ibadah) mereka (kaum musyrik) di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu”. (al-Anfal: 35).
Al-Qur’an datang untuk mendobrak masyarakat yang mempercayai system politeisme di Arab dan menggantinya denngan kepercayaan monoteisme dengan mempeerkenalkan Tuhan Yang Esa. Dengnan tegas lewat Muhmmad, al-Qur’an menawarkan konsepsi Tuhan yang paling dasar, yakni ketauhidan.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakka. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. (al-Ikhlâsh: 1-4).
Fakta ini menunjukkan bahwa nama Allah sudah lazim digunakan di kalangan masyarakat jahiliyah dan kemudian tetap digunakan oleh Islam. Al-Qur’an tidak memperkenalkan nama baru bagi Tuhan karena hal itu justru akan membuat masyarakat yang menjadi audiens dakwah Nabi Muhammad merasa asing dan aneh. Tetapi, nama ini menunjuk pada konsepsi yang berbeda. Al-Qur’an menambahkan argumenasi yang sangat rasional tentang kemustahilan konsep politeisme yang  mempercayai banyak Tuhan dan hannya keesaan Tuhanlah yang dapat masuk dalam nalar sehat.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya: “Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya akan rusak. Maha suci Allah, penguasa ‘arsy, dari apa yang mereka sifatkan.” (al-Anbiya’: 22).
Nama Allah
Secara garis besar terdapat tiga teori mengenai asal mula kata atau bahasa, yaitu teologis, naturalis dan konvensionalis. Teori teologis mengatakan bahwa manusia bisa berbahasa karena anugerah Tuhan dan pada mulanya Tuhanlah yang mengajarkannya kepada Adam, nenek moyang seluruh manusia. Pendapat ini dipengaruhi oleh cerita dalam Bibel dan al-Qur’an yang di dalamnya dikisahkan Tuhan mengajarkan nama-nama benda kepada manusia pertama itu.
 وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (al-Baqarah: 30)
Teori naturalis mengatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia adalah bawaan alam sebagaimana kemampuan untuk melihat dan mendengar. Teori ini diperkenalkan ulang oleh Max Muller (1883-1900) yang kemudian lebih populer dengan sebutan teori ding dong, yang berpandangan bahwa pada mulanya bahasa muncul secara alamiah, muncul secara spontan ketika manusia berinteraksi dengan lingkungannya, terutama ketika mendengar suara-suara alam.
Teori konvensional mengatakan bahwa bahasa muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh masyarakat. Karena itu, sebuah kata yang sama lahir untuk mengungkapkan sesuatu yang sama. Karena itu, kelompok masyarakat yang berbeda mengungkapkannya dengan bahasa yang berbeda pula. Dan pada kenyataannnya, memang itulah yang terjadi.
Dalam konteks ini, kata Allah tidak masuk dalam perkecualian. Kata ini tidak lebih dari konvensi masyarakat Arab untuk menyebut dzat tertinggi yang menciptakan langit dan bumi, menurunkan hujan, meniupkan angin, dan lain sebagainya. Bukti lain yang menunjukkan bahwa nama Allah hanyalah konsepsi masyarakat Arab adalah nabi-nabi lain menyebut dengan nama-nama atau sebutan-sebutan yang berbeda-beda. Nabi Ibrahim misalnya, menyebut dzat yang serba maha itu dengan ‘El. Karena itu, salah satu anaknya ia beri nama Isma’el. Cicitnya, Ya’qub bergelar Isra’el. Anak-anak keturunannya kemudian disebut sebagai Bani Isra’el.
Mengenai asal usul kata Allah dalam masyarakat Arab, terdapat berbagai macam pendapat. Pendapat mayoritas adalah bahwa Allah berasal dari kata ilah, yakni segala sesuatu yang disembah. Bentuk plural kata ilah adalah âlihah yang dalam konteks-konteks al-Qur’an adalah berhala-berhala dan patung-patung, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Ibn al-Atsir mengatakan bahwa kata Allah berasal dari kata Aliha–Ya’lahu. Abu al-Haitsam mengatakan bahwa kata Allah berasal dari kata ilâh kemudian ditambahkan huruf alif dan lam sebagai alif lam ta’rif, al-ilâh. Karena masyarakat Arab merasa berat mengucapkan hamzah pada kata ini, kemudian huruf hamzah ini dibuang sehingga menjadi alilaah. Kemudian lam ta’rif diberikan harakat fathah yang tadinya berharakat sukun (mati), sehingga kemudian di sini terdapat dua lam yang sama-sama berharakat fathah. Lam yang pertama digabungkan pada lam yang kedua makna menjadi Allah. Al-Khalil mengatakan bahwa kata Allah bukan pecahan dari kata apa pun. Ia adalah isim jamid, sehingga tidak bisa ditashrif.[4]
Terdapat perbedaan antara Allah sebagai isim jamid dan tidak jamid. Konsekuensi dari pendapat yang mengatakan bahwa kata Allah adalah isim jamid adalah: “Allah bernama Allah adalah karena Allah”, artinya Dia sendiri yang memberikan nama tersebut untuk diriNya sendiri. Berbeda dengan yang berpendapat  sebaliknya, berarti: “Allah bernama Allah bukan karena Allah, melainkan karena manusia yang menamakan-Nya dengan kata ‘Allah’”. Pendapat ini lebih kuat dan sesuai dengan realitas. Karena itu, ayat dalam al-Baqarah: 30 harus dipahami bahwa memberikan kemampuan kepada manusia dengan simbol Adam untuk melakukan konseptualisasi atas segala sesuatu yang dicerap oleh indera manusia. Wallahu a’lam bi al-shawab.

[1] Konflik paling mutakhir yang disebabkan oleh klaim “kepemilikan” nama Allah hanya bagi umat Islam saja terjadi di Malaysia. Sekelompok umat Islam menyerbu sebuah gereja dan melarang umat Kristiani menggunakan atau menyebut nama Allah, karena mereka sekelompok umat Islam tersebut merasa nama Allah adalah “milik” umat Islam, bukan “milik” umat Kristiani.
[2] Pada suatu saat Raja Abrahah yang memerintah di Yaman ingin memindahkan fungsi strategis Makkah ini ke Shan’a yang di sana ia telah membangun sebuah katedral yang kemegahannya belum tertandingi saat itu. Ambisinya itu terdapat dalam suratnya yang ditujukan kepada Raja Negus. “Aku telah membangun sebuah gereja untuk Tuan yang belum dibangun oleh raja-raja sebelum Tuan. Hamba tidak akan berhenti sebelum memindahkan kiblat haji itu ke sini”.[2] Motif Utama Abrahah ini disanyilir adalah untuk memindahkan potensi ekonomi, karena dengan pemindahan kiblat seperti yang tertulis dalam suratnya tersebut akan berimplikasi pada perubahan pusat kegiatan perdagangan. Namun, usaha Abrahah tersebut gagal karena tentara gajah yang dipimpinnya binasa oleh serangan burung abâbîl yang melemparkan batu-batu kerikil dari neraka Sijjîl yang oleh Mohammad Abduh ditafsirkan dengan penyakit cacar.
[3]Suwâ’ juga disembah oleh suku Madzij, Ya’ûq disembah oleh orang Khiwan, satu daerah yang jarak tempuhnya dua malam perjalanan dari Shan’a, dan Nasr disembah oleh orang di Yaman dan Himyar.

[4] Lihat Ibn al-Mandhur, Lisan al-Arab,

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply