Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Politik Aklamasi Matikan Kader Muda

Oleh: Bambang Arianto*
Akumulasi kekecewaan publik atas perilaku partai politik (parpol) seputar sengkarut soal korupsi-suap, oligarki, konflik internal, lemahnya kaderisasi, hingga cengkeraman feodalisme dan klientalistik dalam internal kepartaian, pada akhirnya dapat menciptakan sentimen anti-partai.
Seperti yang diutarakan oleh Daalder (dalam Pamungkas, 2011), hal itu sebagai pertanda the redundancy of party yang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak lagi memercayai partai politik sebagai artikulator kepentingan mereka. Artinya, rakyat lebih mempercayai institusi-institusi demokrasi lainnya sebagai artikulator kepentingan ketimbang partai politik.
Kekecewaan publik terhadap parpol, semakin diperparah dengan merebaknya praktik-praktik aklamasi dalam setiap suksesi kepemimpinan partai. Padahal, praktik aklamasi tidak lebih dari sebuah dramaturgi suksesi kepemimpinan-yang pada akhirnya akan melahirkan kultus individu.
Nahasnya, praktik aklamasi tidak hanya bercokol pada parpol yang mengedepankan trah politik seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-Perjuangan) saja. Tapi, juga sudah menjalar pada partai modern yang selama ini diharapkan mampu melembagakan aspek-aspek demokrasi.
Praktik aklamasi dapat kita jumpai ketika muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Surabaya pada 1 September 2014 lalu, yang telah menetapkan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB. Kemudian, Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Surabaya pada 16 Oktober 2014 yang menetapkan Romahurmuziy. Selanjutnya Muktamar PPP versi Suryadharma Ali di Jakarta pada 31 Oktober 2014, yang menetapkan Djan Faridz sebagai Ketua Umum PPP secara aklamasi pula.
Praktik aklamasi juga melanda Partai Gerindra yang telah menetapkan secara aklamasi Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum. Tidak ketinggalan Partai Golkar versi Musyawarah Nasional (Munas) IX di Bali yang juga menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi.
Beberapa Penyebab
Merebaknya praktik aklamasi menunjukkan jika partai kerap menampilkan suksesi kepemimpinan semu melalui politik aklamasi. Fenomena politik aklamasi menandai minimnya proses institusionalisasi (pelembagaan) demokrasi internal kepartaian.
Ada beberapa penyebab munculnya politik aklamasi di antaranya: Pertama, masih terlembaganya budaya patronase dan kuatnya cengkeraman figur-figur tua pada pucuk kepemimpinan partai. Sebut saja, di PDI-Perjuangan ada sosok Megawati, Aburizal Bakrie di Partai Golkar, Prabowo Subianto di Partai Gerindra, Surya Paloh di Partai Nasdem, Wiranto di Partai Hanura, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat.
Artinya, parpol saat ini tidak lebih dari sekadar institusi pemuja para figur ketimbang ideologi. Eksesnya, fenomena ini dapat memunculkan jejaring pragmatisme politik. Sebab, elektabilitas parpol akhirnya kalah jauh ketimbang figur politiknya. Sosok figur akhirnya dianggap lebih penting ketimbang platform apalagi ideologi parpol.
Kedua, terjadinya krisis regenerasi dan kaderisasi yang dialami sebagian besar partai politik, terutama kader-kader muda. Hal ini erat kaitannya dengan pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk membangun budaya meritokrasi di lingkungan internal kepartaian. Alhasil, kaum muda seakan sulit untuk mendapat ruang yang memadai dalam parpol, guna menyalurkan aspirasi politik masing-masing.
Fenomena gerontokrasi (lembaga yang dikuasai orang-orang tua) menyeruak dengan ditandai oleh matinya suksesi yang melibatkan kaum muda. Gerontokrasi sendiri mengonfirmasi jika partai bukan lagi menjadi wahana aktualisasi diri, namun lebih menyerupai perusahaan pribadi. Jika hal ini dibiarkan, parpol akan sulit melahirkan kader-kader potensial dalam kontestasi elektoral maupun presidensial 2019 mendatang. Jangan heran, politisi muka lama akan kembali memenuhi jagat kontestasi elektoral yang eksesnya dapat menggerus kepercayaan publik.
Politik aklamasi semakin menegaskan kepada publik bahwa parpol belum mampu membangun institusi demokrasi dan rumah persemaian para kader-yang ditujukan dan dipersiapkan guna melahirkan para calon pemimpin transformatif. Jika hal ini dibiarkan, pelan tapi pasti gejala kebangkrutan partai politik akan menjadi kenyataan (Arianto, 2015).
Hal itu disebabkan minimnya kader potensial, terutama kader-kader muda. Apalagi, banyak elite politik yang lebih mengarahkan partai menjadi catch-all party, ketimbang partai kader. Pasalnya, rasio kader muda semakin mengalami penyusutan yang pada akhirnya gejala ini dapat menuntun partai berkembang menjadi partai pemburu elektoral semata.
Epilog
Akhirnya, pola-pola politik aklamasi yang merebak dalam suksesi kepemimpinan partai politik dekade terakhir-sangat rawan melahirkan praktik politik transaksional serta membunuh proses pelembagaan demokratisasi internal kepertaian. Hal itu disebab politik aklamasi banyak dipenuhi oleh tangan-tangan hegemoni para kaum oligarkis yang kerap membajak partai politik. Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya figur pengusaha dan jejaring keluarga yang masuk sebagai pejabat teras partai karena kekuatan kapitalnya.
Fenomena politik aklamasi akan membuat partai semakin mandul dalam melahirkan sosok kepemimpinan muda organik yang berasal dari akar rumput. Kepemimpinan organik yakni kepemimpinan yang berasal dari kader muda yang telah merangkak dari bawah sebagai sosok aktivis, ideolog partai, dan kerap berjuang untuk kepentingan rakyat.
Publik berharap parpol yang akan mengelar suksesi kepemimpinan pada 2015 mendatang seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Hanura, serta PDI-Perjuangan dapat mengelar suksesi kepemimpinan dengan cara-cara bermartabat. Agar terjadi pembaruan politik kepartaian di tengah merebaknya gerontokrasi politik, perlu adanya perbaikan institusi partai politik, baik pada aspek organisasi dan manajemen, pendanaan partai, rekrutmen kader-serta pembangunan institusi dengan platform kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Walhasil, sudah saatnya dalam setiap suksesi kepemimpinan, partai dapat menghindari praktik-praktik aklamasi dan beralih kepada model meritokrasi kepemimpinan. Langkah taktis ini dapat menjadi alternatif menyadarkan para elite parpol-bahwa hal terpenting dalam suksesi kepemimpinan adalah melibatkan kader-kader muda, sebagai prasyarat utama melahirkan generasi baru partai. Sebab, jika politik aklamasi kerap dijadikan pembenaran dalam ritual perburuan estafet kepemimpinan partai, eksesnya parpol akan sulit menapaki iklim kompetisi poltiik yang super ketat-apalagi diharuskan bermimpi untuk menarik atensi pemilih. (*)
*Peneliti Politik Bulaksumur Empat dan Mahasiswa S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM Yogyakarta
 Dimuat di Banjarmasin Post, 9 Januari 2015

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply