Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Mengangkat Martabat TKW

Oleh Defina Holistika*
Permasalahan buruh migran masih menjadi salah satu potret kelam bangsa Indonesia. Salah satunya dapat dilihat dari catatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care, yang menyatakan bahwa ada 908 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia di berbagai negara hingga pada 2010. Ironisnya, angka ini sekaligus mengantarkan Indonesia menjadi pemegang rekor tertinggi jumlah tenaga kerja yang meninggal di luar negeri.
Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia diramaikan dengan pemberitaan mengenai iklan salah satu perusahaan swasta di Malaysia yang berbunyi, ”Fire your Indonesian maid now!” (pecat pembantu rumah tangga Indonesiamu sekarang).
Kali ini giliran kasus penganiayaan yang dialami Tenaga Kerja Wanita (TKW) Erwiana yang bekerja di Hong Kong yang berhasil menyita perhatian masyarakat, ramai diberitakan di media sosial. Bukan hanya masyarakat Indonesia yang turut prihatin dan mengecam tindakan majikan Erwiana, Law Wan Tung, yang tidak berperikemanusiaan. Permasalahan ini juga berhasil merebut perhatian masyarakat dunia dengan menyebarnya pemberitaan ini di berbagai media Internasional. Tak pelak hal ini menimbulkan reaksi keras di kalangan buruh imigran di Hong Kong.
Demonstrasi besar-besaran pun dilakukan sebagai ajang solidaritas dan wujud keprihatinan. Kasus seperti ini bukanlah kasus pertama yang menimpa TKW yang mengadu nasib di negeri orang. Sebelumnya, kasus Nirmala Bonat dan Darsem juga menarik perhatian massa. Lalu mengapa Ironi ini kembali terulang? Apa yang salah dengan TKW Indonesia yang seolah begitu rentan?
Akar permasalahan sesungguhnya dapat dibaca dari kondisi Indonesia yang belum mampu menyejahterakan rakyatnya. Hingga saat ini, Indonesia masih dihadapkan dengan surplus tenaga kerja yang belum bisa diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang memadai.
Dengan tingkat pengangguran sembilan juta per tahun, dan skala pertumbuhan satu persen untuk 200 ribu tenaga kerja, maka untuk menyerap tenaga kerja yang begitu besar, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 45 persen per tahun. Tetapi itu tidak mungkin. Akibatnya, masalah penumpukan tenaga kerja terus menerus terjadi, dan semakin tahun, angkanya terus mengalami peningkatan.
Modal Nekat
Dalam kondisi ini, berburu upah di negeri orang pun menjadi alternatif yang logis. Hal ini juga yang membuat kaum perempuan harus rela turun tangan untuk membantu keuangan keluarga. Dengan hanya bermodalkan nekat, mereka terjun ke dunia TKW yang seringkali tak ramah. Padahal, rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki serta tidak adanya keahlian khusus atau penguasaan bahasa, besar kemungkinan hanya berujung malapetaka.
Kondisi ini sesungguhnya juga menggambarkan bagaimana martabat perempuan dipertaruhkan atas nama ekonomi. Telah menjadi rahasia umum bahwa TKW yang dikirim ke luar negeri sebagian besar dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
Hal ini menjadi bukti nyata, bahwa bangsa ini belum mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih layak bagi bagi sebagian besar rakyatnya. Terlebih bagi kaum perempuan yang memiliki tanggung jawab besar dan vital dalam pembangunan bangsa, yakni merawat dan mendidik anaknya.
Tidak hanya itu, kerelaan itu juga masih dibuntuti dengan kekejaman lain yang didapatkan di perantauan. Perempuan dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi yang secara terbuka diperjualbelikan.
Berdasarkan informasi anggota komisi II DPR RI, Eva K Sundari pada 2012 lalu, di Bukit Timah Plaza, Singapura, misalnya, TKW diberi seragam dan disuruh berjajar untuk dipilih calon pembeli. Serendah itukah martabat perempuan Indonesia di mata dunia?
Saat bekerja, para TKW juga harus menerima perlakuan majikan yang seringkali sewenang-wenang, yang memperlakukan mereka layaknya budak belian. Seperti dalam kasus Erwiana, yang harus bekerja 20 jam sehari untuk majikannya. Setelah terkuras tenaganya pun, Erwiana hanya menerima semangkuk nasi dan enam potong roti sebagai upah.
Erwiana juga tak pernah berhenti menerima siksaan fisik berupa pukulan dengan tangan dan benda-benda lainnya yang membuat tubuhnya penuh lebam, bahkan hingga membuat bibirnya sobek. Dalam kasus lain bahkan ditemukan percobaan pemerkosaan hingga pembunuhan.
Akhirnya, fenomena memprihatinkan yang terus berulang ini harus dijawab dengan sebuah penyelesaian. Semua pihak tentu tidak mengharapkan ada perempuan lain yang kembali harus dikorbankankan dan mengorbankan martabat. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab harus membenahi beberapa hal secara serius.
Pertama, pemerintah harus bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pengerah jasa TKI yang melakukan pelanggaran. Banyaknya perusahaan ilegal yang beroperasi juga perlu ditindaklanjuti agar tidak terjadi penipuan maupun tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, pemerintah harus berani mengambil kebijakan penghentian pembantu rumah tangga. Sebagai gantinya, pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas pekerja. Hingga nantinya yang dikirim hanyalah sebagai tenaga ahli atau profesional. Oleh sebab itu, Balai Latihan Kerja (BLK) perlu dioptimalkan dengan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ketiga, pemerintah harus aktif menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Hingga akhirnya tingkat pengangguran bisa berkurang secara signifikan. Masyarakat pun tak perlu bingung mencari pekerjaan bahkan sampai ke luar negeri dengan turut mempertaruhkan martabatnya.
Keempat, pemerintah harus mengawasi dan mengevaluasi total biro jasa pengirim Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Fungsi lembaga ini sangat vital dalam masalah ketenagakerjaan, yakni sebagai penyeleksi, penempet, dan pelindung tenaga kerja indonesia.
Dengan upaya-upaya ini diharapkan persoalan buruh migran asal Indonesia bisa segera teratasi, terutama para TKW yang cenderung lebih rentan menjadi korban kekerasan.
Oleh karena itu, kaum perempuan pun  harus bisa merdeka dari berbagai tindak kekerasan serta mampu mematahkan anggapan sebagai manusia kelas dua (the second human being). Tentuya dengan bangga bekerja dan berkarya di negeri sendiri. Tanpa harus menjual martabat. (81)
— Defina Holistika, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang
Sumber: Rubrik Perempuan Suara Merdeka, 3 Maret 2015 4:56 WIB




About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply