Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Pemilih Pemula Penentu Nasib Bangsa

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz
Pemilu Presiden 2014 sudah di depan mata. Para kandidat capres dan cawapres—meskipun belum diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai capres-cawapres—sudah membentuk tim pemenangan, mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Mereka akan berusaha menarik simpati masyarakat untuk memilih capres-cawapres yang mereka usung. Mereka menginginkan suara rakyat harus diberikan untuk capres-cawapres yang mereka dukung, terutama mereka akan memaksimalkan suara para pemilih pemula.
Seperti yang dilakukan oleh ratusan pemuda dan artis yang tergabung dalam Gerakan Muda (Gema) Indonesia mendeklarasikan dukungan untuk pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Rumah Polinia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Rabu (21/5/2014). Terdapat puluhan artis turut terlibat dalam acara tersebut. Diantaranya Anang Hermansyah, Ahmad Dhani, Raffi Ahmad, Dwiki Darmawan, Rachel Maryam, Mulan Jamela, Ashanty, serta artis-artis lain. Mereka akan menggalang dukungan dari masyarakat, terutama para pemilih pemula dan pemuda untuk memberikan suaranya pada pilpres nanti kepada pasangan Prabowo-Hatta. (Kompas, 22 Mei 2014).
Tidak mau kalah dengan pendukung Prabowo-Hatta, Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) menggelar acara deklarasi gerakan revolusi mental yang melibatkan 3000 pelajar di GOR Pemuda Jakarta Timur, Jumat (23/5). Acara tersebut merupakan program yang mengajak pemilih muda untuk terlibat dalam pilpres yang akan datang. Tentu saja untuk mendukung Jokowi-JK agar menang di pilpres nanti. (JPNN, 23 Mei 2014).
Prospek Suara Pemili Pemula
Presiden Direktur Center for Election and Political Party (CEPP), Chusnul Mari’yah dalam dialog publik di Monash Institute Semarang beberapa waktu lalu, memperkirakan Pemilu 2014 akan diikuti sekitar 53 juta pemilih muda berusia 17-29 tahun. Jumlah tersebut hampir mencapai perolehan suara SBY-Boediono yang memnangkan Pemilu Presiden 2009 dengan mengantongi 73.874.562 suara. Chusnul Mari’yah yang juga merupakan pengajar di program doktoral Universitas Indonesia berpendapat bahwa untuk sukses di Pemilu 2014, calon presiden dan wakil presiden beserta tim suksesnya harus memaksimalkan peran dan partisipasi pemilih pemula dan kaum muda dalam pilpres mendatang. Berdasar dari data itu, maka yang menjadi hal penting adalah bagaimana membuat mereka yang memilih untuk kali pertama ini dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar. Sebab, yang namanya permulaan atau perdana tentu tidak selalu berjalan mulus.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto dalam artikel berjudul “Memberdayakan Pemilih Muda” menulis bahwa setidaknya ada tiga pelapisan kelompok pemilih muda. Pertama, publik umum (general public) yang masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang berinteraksi dengan wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka memosisikan politik, terlebih Pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga menjaga jarak. Kelompok pertama inilah yang harus mendapat pertolongan paling intensif. Jika melihat realita yang terjadi di lapangan, tentu semua sepakat bahwa sebagaian besar kaum muda saat ini lebih suka jalan-jalan menggunakan waktu liburan, daripada hanya sekadar datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Dalih mereka beragam. Ada yang memang secara jujur mengakui bahwa dirinya cuek dengan adanya pemilihan umum, karena menganggap bahwa hasilnya juga akan gitu-gitu aja. Kelompok yang satu ini merupakan korban keganasan kekuasaan yang tak kunjung memberikan hasil yang signifikan terhadap kondisi bangsa dan negara ini. Ada juga yang beralasan tidak akan datang ke TPS jika tidak ada caleg yang memberikan uang kepada mereka. Ini merupakan kelompok pragmatis yang juga merupakan korban budaya money politic yang telah terjadi secara turun temurun di lingkungannya. Biasanya kelompok ini merupakan kumpulan orang yang hidupnya tidak seberuntung orang berkecukupan. Mereka memilih menerima uang, meski hanya 50 ribu rupaih saja, daripada harus menggantungkan hidupnya kepada pemimpin yang jika mereka menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu juga tidak akan bisa mengubah nasib mereka. Pemuda-pemuda yang seperti inilah yang harus diselamatkan dan diberikan pencerahan agar tidak salah paradigma dan cara berpikirnya.
Lapis kedua adalah kaum muda beperhatian (attentive public) yang mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif di politik, terlebih dalam perebutan kekuasaan. Kelompok ini penulis sebut sebagai kaum muda idealis. Tentu jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok lapis pertama di atas. Padahal, ini seharusnya ditempati oleh mereka yang terpelajar. Dengan berbekal pemahaman dan pengetahuan yang cukup mengenai negara dan bangsa ini, seharusnya mereka mampu menempati posisi ini. Setidaknya peduli terhadap perubahan bangsa menjadi lebih baik. Sikap independen (baca: hanief atau cenderung kepada kebenaran) harus benar-benar dipupuk dalam diri kaum muda, supaya generasi yang akan memimpin Indonesia nantinya tidak mudah tergoda oleh kemapanan dan kesenangan sesaat di dalam mengurusi bangsa ini.
Kelompok lapis ketiga adalah kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti lapis beperhatian di atas juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi untuk terlibat penuh dalam beragam aktivitas politik. Kelompok ini dengan sendirinya akan memilih peran mereka masing-masing. Apakah mereka mimilih untuk melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan atau memilih untuk menjadi pemimpin imparsial (impartial leader), atau bahkan mereka tetap menjadi follower (pengikut). Kelompok ini penulis sebut sebagai kaum muda idealis yang tercerahkan. Dengan potensi yang dimilikinya, para pemuda ini tidak perlu dimobilisir untuk datang ke TPS. Kelompok pemilih ini oleh Mohammad Nasih disebut sebadai pemilih idealis atau pemilih ideologis.

Oleh sebab itu, segala upaya harus dilakukan oleh semua pihak untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal terburuk bagi masa depan Indonesia. Tim sukses di masing-masing pasangan capres-cawapres selain berusaha merebut hati para pemilih pemula, juga harus memberikan pendidikan politik kepada mereka agar ke depan, para pemuda itu bisa menggunakan hak pilihnya secara cerdas dengan idealisme yang mereka miliki. Dengan demikian, peluang untuk membentuk negara mandiri, berdaulan, adil, dan makmur akan sangat mungkin untuk diwujudkan. Wallahu a’lam.

Koran Wawasan, 26 Mei 2014

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply