Select Menu

Disciples Menulis

Opini

Artikel Tamu

Inspirasi

Perspektif

Nasihat

» » Berpolitik Sebagai Panggilan

Berpolitik Sebagai Panggilan
Menjadi seorang perempuan, tak menghalangi Siti Iskarimah menjadi seorang aktivis. Mahasiswi pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam (MPI) IAIN Purwokerto itu memilih menjadi aktivis mahasiswa. Dan kini, ia memiliki tugas baru. Tugas ini bahkan tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Pada awal Januari 2015, dara kelahiran Banyumas, 20 Mei 1991 itu akan dilantik menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwokerto.
“Ini tugas berat, tetapi ini adalah panggilan. Saya pun akan menyesuaikan diri dengan tugas itu,” kata Iis, sapaan akrabnya, Senin (15/12). Iskarimah mengakui bahwa untuk jabatan sekelas ketua umum cabang, apalagi HMI, tentu tidak sembarangan dia menerima mandat itu.
“Bagi saya, ini salah satu perjuangan politik saya. Kalau di HMI, tentu aktivitas politik saya akan seluruhnya saya orientasikan kepada proses perkaderan yang ada di organisasi mahasiswa tertua itu,” kata Iis saat ditemui Tribun Jateng.
Mengapa jabatan ketua umum organisasi mahasiswa dianggapnya sebagai proses politik, Iis menjelaskan perihal tersebut. “Politik berarti mengatur dan melayani. Jadi, meski saya belum masuk partai politik, ini saya anggap sebagai perjuangan politik. Karena pada dasarnya saya menjalankan tugas politik itu (pengaturan dan pelayanan, red) kepada mahasiswa aktivis.
Bagi dia, politik harus berorientasi kepada kemakmuran rakyat. “Dalam konteks mahasiswa, tentu saya akan berusaha memakmurkan mahasiswa, dalam arti memberikan pelayan terbaik terkait kebutuhan mahasiswa, terutama menjadi insan akademis,” ungkap Iis.
Politik juga harus dilandasi keikhlasan dan sifat profetik. “Dengan ikhlas, selain memberikan pelayanan kepada para mahasiswa, tentu ini akan juga berdampak pada kualitas diri saya pirbadi. Apalagi saya perempuan, ini menjadi tantangan tersendiri,” akunya.

Iis berharap agar para perempuan tidak takut dan segan-segan untuk terjun di dunia politik. Dia mengaku prihatin atas ketidakmampuan perempuan dalam memenuhi keterwakilan minimal 30 persen perempuan di parlemen. “Perempuan juga punya kemampuan memimpin. Jadi, jangan beda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks berpolitik,” pungkasnya.
(Mokhamad Abdul Aziz)
Tribun Jateng, 15 Desember 2014

About Unknown

Penulis lepas, Direktur Eksekutif Monash Institute Semarang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply